Bagi anda yang membutuhkan referensi tentang Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tetang Standar Kepala Sekolah dapat mengklik di bawah ini.
Download
Senin, September 28, 2009
PERMENDIKNAS NO. 13 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR KEPALA SEKOLAH
Diposting oleh Izoers Suryana di 03.20 1 komentar
PEUTING ANU SEPI JEMPLING
The Silent of Night
Malam ini terasa sepi sekali, semua penghuni alam terlelap dalam mimpi yang tiada bertepi. Ku termenung di sofa yang warnanya sudah mulai memudar, ku pijit tombol polytron 21″ semua chanel menanyangkan acara yang sama sekali tidak menarik mood-ku. Ramenya kancah politik dengan aroma kampanye dari para Capres dan Cawapres seolah menu utama semua chanel televisi — ah… membosankan — yang pasti bagiku semuanya sama antara kelebihan dan kekurangannya. Real action kandidat terpilih lebih kuharap mampu memberikan keadilan dan kenyaman yang hakiki terlebih bagi profesiku (ego..he…he).
Kutekan tombol off di remote, suasana kembali sepi…sepi…sepi…hanya nyanyian binatang malam dan dengkuran istri dan anakku yang sedari tadi (ba’da Isya sudah bergumul dengan bantal guling) yang kini menemani kesendirianku. Kupalingkan tatapan tertuju pada meja kerja dimana “SI ACCER” bertengger solah menantangku untuk meminta segera memijat-mijat seluruh anatominya. Ku hampiri, ku tatap, ku pegang, ku elus-elus akhirnya kubuka sambil ku tekan tombol on SI ACER .
SI ACER menampakan sehelai dadanya yang putih bersih seolah siap untuk ku bantai dengan coretan-coretan semerawut yang memang menggambarkan ketidakmenentuan pikiranku. Lama ku termenung mengumpulkan isnspirasi apa gerangan yang seharusnya aku teteskan lewat jemari di dada SI ACER. Akhirnya memoriku mengajak aku berkelana ke masa lalu, di mana masa itu aku benar-benar merasakan betapa nikmatnya hidup meski secara normatif mungkin waktu itu aku sedang tidak berada dalam derajat dan martabat yang baik.
Masa itu adalah masa “Remaja” masa yang dikategorikan oleh para ahli adalah masa strum and drung, masa merindu puja, masa try and eror, masa ke-aku-an (ego centris) de el el … (seabreg kriteria yang sangat banyak). Memang di masa remaja semuanya serba happy, enjoy dan serba luar biasa dalam kehidupan manusia — indah segalanya meski dalam suasana yang relatif dan background yang berbeda. Sekarang ….kini….masa itu telah berlalu yang tidak mungkin bisa ku lewati kembali, yang ada di hadapanku sekarang adalah kemampuanku untuk menjadi figur pemimpin bagi istri dan anakku. Aku harus bisa dan mampu menjadi sosok yang dapat dijadikan personifikasi oleh keluargaku — bagaimanapun setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di alam akherat. Duh … kalau sudah begini kembali rasa sepiku di malam ini kian menjadi … sepi…sepi…dan…sepi…cag!
Label: ngalamun tengah peuting, sepi jempling
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.41 0 komentar
TRIK DAN TIPS MEMBUAT BLOG DI BLOGSPOT
Bagi anda para pemula seperti saya yang berminat belajar membuat blog jangan bingung karena banyak para blogger senior yang memberikan ilmunya salah satunya klik link berikut ini dan
TRIK DAN TIPS MEMBUAT BLOG DI BLOGSPOT Selanjutnya...Label: blog tutorial, pinter nge-blog pake blogger
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.31 0 komentar
OPTIMALISASI LAYANAN KONSULTASI ORANG TUA SEBAGAI UPAYA MENGATASI PERMASALAHAN BELAJAR SISWA
A. Pendahuluan
Masalah anak menjadi persoalan yang hampir ada dan ditemukan oleh para guru dan orang tua, baik dalam kolnteks keluarga, sekolah maupun masyarakat. Masalah anak ini dapat dikatagorikan ke dalam 3 penyebab, yaitu: (1) faktor norma atau moral, misalnya banyak anak melanggar tata tertib sekolah, kurang menghargai orang tua dan guru, membolos dengan alasan yang dibuat-buat, menyalahgunakan uang SPP
(2) masalah belajar, misalnya anak kurang memanfaatkan waktu belajar dengan baik, banyak waktu dipergunakan justru untuk bermain game, play-station, kurang memperhatikan kegiatan 1 belajar di kelas; (3) faktor sosial, banyak anak tidak naik kelas, karena masalah anak di sekolah tidak diketahui oleh orang tua, atau sebaliknya, anak terlalu bebas dalam bergaul, baik di rumah ataupun di sekolah. DeRoche (dalam Yuliejantiningsih,1994) antara lain menyatakan seputar masalah anak, sebagai berikut (1) tidak mengerjakan pekerjaan rumah/tugas-tugas di sekolah, (3) menunjukkan sikap kurang memperhatikan, (4) menyontek waktu tes, mengucapkan kata-kata kasar dan cabul, (5) berdusta besar, (6) perkelahian, (7) membolos/tidak hadir di sekolah, (8) kurang menghargai orang lain, (9) kurang menghargai peraturan sekolah. Fenomena masalah anak tersebut menjadi hal yang crusial untuk segera ditangani. Sebab jika tidak ditangani secara tepat dan efektif, maka akan sangat mengganggu jalannya proses belajar, yang dapat berdampak pada kegagalan belajar. Juga akan berdampak pada kerugian besar terhadap kepentingan perkembangan optimal pada diri siswa sendiri maupun bagi kepentingan kehidupan orang lain/masyarakat Dari perspektif ini, penting untuk menjalin kerja sama sinergis antara konselor dengan guru/orang tua, sebab permasalahan anak dapat timbul pada dua tempat pendidikan, yaitu terjadi di rumah dan terjadi di sekolah. Agar kerja sama tersebut terjalin dengan baik, maka diperlukan bentuk layanan bimbingan yang dapat menjembatani terbentuknya kerja sama di antara kedua belah pihak, konselor dan orang tua.
Layanan konsultasi kepada orang tua, kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif solusi untuk membangun kerja sama sinergis dengan orang tua dalam rangka membantu mengatasi masalah anak. Layanan konsultasi merupakan salah satu komponen layanan bimbingan konseling yang ada. Teori yang melandasi pelaksanaan layanan konsultasi, berpijak pada landasan teori bimbingan menurut Shetzer (1985), bahwa komponen-komponen program bimbingan di sekolah yang perlu mendapat perhatian bagi konselor sekolah, meliputi komponen (1) apraisal, (2) informasi, (3) konseling, (4) konsultasi, (5) perencanaan penempatan, dan tindak lanjut, (6)evaluasi. Pendekatan layanan konsultasi (Consultation Approach) tepat digunakan sebagai teknik layanan untuk mengembangkan hubungan kerja sama antara konselor dengan orang tua. Kerja sama tersebut terjadi antara konselor dengan orang tua melalui latihan-latihan dalam situasi belajar (Watson 1996). Peranan konselor menciptakan hubungan baik antara orang tua dengan anak dan bagaimana orang tua memberikan bimbingan yang efektif, menciptakan hubungan yang saling membutuhkan. Hal ini dapat dilatihkan oleh konselor kepada orang tua siswa (Juanda (2001). Dalam Naskah Akademik (2007), ditegaskan bahwa layanan konsultasi merupakan salah satu aspek dari komponen layanan responsif, yang merupakan komponen ke-3 dari empat komponen bimbingan konseling yang dikemukakan, yaitu komponen layanan dasar, komponen layanan perencanaan individual dan komponen layanan dukungan sistem. Secara eksplisit diungkapkan bahwa konselor perlu (1) melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah, dan pihak institusi di luar sekolah (pemerintah/swasta) untuk memperoleh informasi dan umpan balik tentang layanan bantuan yang telah diberikan kepada siswa, (2) menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, (3) melakukan referal, serta (4) meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya sekolah untuk menjalin kerja sama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang relevan dengan peningkatan mutu layanan bimbingan (Naskah Akademik 2007).
B. Analisis: Fakta dan Problem di Lapangan Secara faktual, layanan konsultasi kepada orang tua belum menjadi bagian integral dalam proses layanan bimbingan konseling bagi konselor di sekolah. Fakta empiris ini juga didukung oleh pendapat Mathewson (dalam Juanda, 2001) bahwa layanan bimbingan konseling yang dilaksanakan di Indonesia selama ini, tidak satupun memprogramkan layanan konsultasi sebagai teknik pelayanannya. Satu-satunya ahli bimbingan yang memasukkan program layanan konsultasi adalah Sehertzer & C. Stone (1985). Persoalan yang diprediksi menjadi faktor penyebabnya, antara lain faktor yang menyangkut 1) kurikulum, dan 2) kurangnya penguasaan konselor tentang layanan konsultasi.
1. Faktor Kurikulum Faktor kurikulum ini dapat dilihat dalam kesejarahan bagaimana pelaksanaan bimbingan konseling dilaksanakan di Indonesia sejalan dengan kurikulum yang ada. Fakta bahwa pelaksanaan program bimbingan konseling yang dilaksanakan selama ini, selalu terikat dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pelaksanaan bimbingan konseling yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu mulai dari kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, Undang-Undang No2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No.28/1990, sampai pada Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang selalu mengikat konselor sekolah dengan tugas (1) konselor sekolah membuat program dan Satuan Pelayanan atau SP (2) konselor melaksanakan pelayanan, dan (3) konselor mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling. Ironisnya tugas dalam bentuk rancangan program bimbingan konseling yang dibuat oleh konselor:
a. Masih sebatas rancangan, tidak sampai pada ketuntasan implementasi program. Hal ini ditengarai disebabkan karena beberapa faktor penghambat, sebagai berikut (1) terbatasnya waktu. Waktu yang disediakan hanya 1 jam/minggu, itupun tidak semua sekolah. Sebelum muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kemudian berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), masih banyak ditemukan konselor tidak diberi jam masuk kelas, sehingga sejumlah program yang harus dilaksanakan secara klasikal atau kontak langsung tidak terlaksana. Belum lagi, jika konselor diberi tugas lain yang lebih menyita waktu, maka nyaris kegiatan bimbingan konseling yang sudah terprogram tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Dalam KTSP, kegiatan bimbingan konseling dilaksanakan pada setiap semester, ekuivalen dengan 2 jam pembelajaran, inipun belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Belum lagi di kebanyakan sekolah (SLTP/SLTA) konselor sekolah kurang atau bahkan tidak ada jam tatap muka untuk kelas tiga, dengan suatu alasan, waktunya singkat dan akan dipergunakan secara efektif untuk persiapan ujian, (2) kurang tersedianya fasilitas, (misalnya: dana, ruangan konseling yang memadai). Kurangnya fasilitas yang mendukung, menghambat konselor untuk merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, (3) supervisi bimbingan konseling kurang profesional. Belum terlaksananya supervisi bimbingan konseling secara profesional, kiranya juga menjadi penyebab kurang terlaksananya program bimbingan secara maksimal. Supervisi yang dilakukan masih sebatas melihat kelengkapan program bimbingan yang direncanakan dan sejumlah perangkat/media yang dipajang di ruang BK. Supervisi kurang menyentuh substansi pekerjaan konselor yang telah direncanakan dan dilaksanakan. Kondisi ini kurang memberi motivasi bagi konselor untuk melaksanakan layanan bimbingan konseling secara sungguh-sungguh dan profesional. b. Dalam rancangan program bimbingan konseling, Layanan Konsultasi belum lazim dicantumkan secara eksplisit sebagai salah satu komponen program bimbingan yang penting untuk diimplementasikan. Beberapa persoalan yang muncul, antara lain (1) Layanan Konsultasi memang tidak pernah secara eksplisit dicantumkan dalam program Bimbingan Konseling. Layanan konsultasi dengan orang tua hanya dilakukan sebatas pemberian informasi dan bercorak pemberian nasehat dan saran kepada orang tua, terlebih kepada orang tua yang anaknya banyak masalah, misalnya suka membolos, berkelahi dengan teman, meninggalkan kelas tanpa izin. Dalam hal ini pelaksanaan layanan konsultasi sifatnya eksidental. Pelaksanaan belum mengacu pada konsep teori yang benar tentang layanan konsultasi. (2) Program Bimbingan konseling yang dirancang sudah begitu padat, itupun belum dapat dilaksanakan secara tuntas dan benar. Belum tuntas, karena faktor keterbatasan waktu BK masuk kelas, disertai beban tugas yang diberikan. Belum benar, dalam arti bahwa pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling jauh dari konsep teori yang ada. Misalnya tentang pelaksanaan konseling (individual/kelompok) yang tidak lebih dari sebuah wawancara biasa, dimana konselor lebih banyak memberikan intervensi dalam penyelesaian masalah siswa, teknik-tekik dasar konseling yang benar terabaikan, dan konseling hanya dilaksanakan berkisar 15-20 menit.. Konseling yang terjadi tidak genuine, karena motivasi target dari kepala sekolah yang harus dicapai dalam mengatasi masalah anak, termasuk layanan konsultasi yang hanya sebatas pemberian nasihat dan saran kepada orang tua. 2. Kurangnya Penguasaan Konselor tentang Layanan Konsultasi
Kurangnya penguasaan konselor tentang layanan konsultasi dapat dilihat dari fakta bahwa pelaksanaan konsultasi yang pernah dilakukan oleh konselor dengan orang tua tidak lebih dari sekedar pemberian nasihat dan saran. Kenyataan ini tidak terlepas dari keterbatasan pemahaman konselor secara komprehensif tentang layanan konsultasi, yang meliputi aspek-aspek (1) pengertian konsultasi, (2) tujuan konsultasi , (3) model layanan konsultasi, dan (4) proses layanan konsultasi. Harus dipahami bahwa kegiatan layanan konsultasi tidak serta merta sama dengan pemberian nasehat. Jika ini yang dilakukan maka jelas sangat bertentangan dengan konsep teori layanan konsultasi itu sendiri. Oleh karenanya, seorang konselor sekolah yang akan melaksanakan kegiatan bimbingan konseling yang berhubungan dengan layanan konsultasi, harus terlebih dahulu mempelajari dan memahami konsep konsultasi secara benar dan tepat. Ini sebuah prasyarat. C. Pembahasan 1. Problem Kurikulum Ada hal penting yang perlu dikaji secara mendalam berkaitan dengan masalah kurikulum, yaitu hal yang berhubungan dengan tugas konselor sekolah, bahwa seorang konselor sekolah: harus membuat program dan Satuan Pelayanan (SP), melaksanakan pelayanan, dan mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling. Persoalannya adalah sudahkah tugas program bimbingan konseling yang harus dikerjakan oleh konselor dipikirkan juga soal waktu yang disediakan, sarana/fasilitas yang diperlukan, dan supervisi bimbingan konseling yang memadai. Jika ini tidak terpikirkan dengan baik, maka dapat dipahami bahwa program BK yang direncanakan oleh konselor hanya sebatas rencangan semata, tidak dapat dilaksanakan secara maksimal dan berdampak positif.
Dalam rumusan Akademik (hasil kerja keras ABKIN), yang kini sudah disahkan oleh Direjen Dikti, layanan konsultasi dicantunkan secara ekplisit sebagai salah satu komponen layanan yang bercorak responsive. Dalam naskah akademik itu dengan jelas dikatakan bahwa:
Layanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada peserta didik yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan. Konseling individual, konseling krisis, konsultasi dengan orangtua, guru, dan alih tangan kepada ahli lain adalah ragam bantuan yang dapat dilakukan dalam layanan responsif. Selanjutnya dikatakan bahwa konselor perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah/madrasah lainnya, dan pihak institusi di luar sekolah/madrasah (pemerintah, dan swasta) untuk memperoleh informasi, dan umpan balik tentang layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa, menciptakan lingkungan Sekolah/Madrasah yang kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya sekolah/madrasah untuk menjalin kerja sama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang relevan dengan peningkatan mutu layanan bimbingan (Naskah Akademik 2007) Penulis berpendapat bahwa pencantuman layanan konsultasi secara eksplisit dalam naskah akademik tersebut, sebagai refleksi ABKIN sekaligus penegasan teori bahwa layanan konsultasi merupakan salah satu komponen dalam layanan bimbingan konseling yang perlu mendapat perhatian konselor. Konselor tidak perlu ragu lagi untuk mencantumkan layanan konsultasi dalam rancangan program bimbingan (merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi), sekalipun dalam kurikulum, layananan konsultasi secara eksplisit. tidak pernah dicantumkan.
Dalam Naskah Akademik juga ditegaskan bahwa program bimbingan perlu dilaksanakan dalam bentuk (a) kontak langsung, dan (b) tanpa kontak langsung dengan siswa. Untuk kegiatan kontak langsung yang dilakukan secara klasikal di kelas (layanan dasar) perlu dialokasikan waktu terjadwal 2 (dua) jam pelajaran per-kelas per-minggu. Adapun kegiatan bimbingan tanpa kontak langsung dengan siswa dapat dilaksanakan melalui tulisan (seperti e-mail, buku-buku, brosur, atau majalah dinding), kunjungan rumah (home visit), konferensi kasus (case conference), dan alih tangan (referal). Ini berarti bahwa konselor juga diharapkan merancang kegiatan bimbingan konseling yang kemungkinan harus dilaksanakan di luar jam efektif sekolah. Konsekuensi dari ini semua adalah pentingnya dukungan sistem yang memadai. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Naskah Akademik (2007) bahwa: Program layanan bimbingan dan konseling tidak mungkin akan tercipta, terselenggara, dan tercapai bila tidak memiliki suatu sistem manajemen yang bermutu, dalam arti dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah. Oleh karena itu bimbingan dan konseling harus ditempatkan sebagai bagian terpadu dari seluruh program Sekolah/Madrasah dengan dukungan wajar baik dalam aspek ketersediaan sumber daya manusia (konselor), sarana, dan pembiayaan. Apa yang secara tegas diuraikan dalam naskah akademik, kiranya dapat menjadi solusi strategis bagi pelaksanaan layanan bimbingan konseling secara profesional. Sekaligus menjadi masukan terhadap penyempurnaan kurikulum, khususnya yang terkait dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah.
2. Pemahaman Konsep Layanan Konsultasi. Kurangnya penguasaan konselor tentang layanan konsultasi, tentunya menjadi persoalan penting yang perlu mendapat perhatian. Bagaimanapun, seorang konselor sekolah yang akan melaksanakan kegiatan bimbingan konseling dalam layanan konsultasi, terlebih dahulu mempelajari dan memahami konsep konsultasi secara benar dan tepat. Konselor penting untuk memahami bahwa layanan konsultasi tidak sama dengan pemberian nasihat, jika ini yang dilakukan maka jelas sangat bertentangan dengan konsep teori dari layanan konsultasi itu sendiri. Dalam pembahasan ini akan diuraikan aspek-aspek konsultasi yang perlu dipahami oleh konselor dalam rangka pelaksanaan layanan konsultasi secara benar dan tepat, meliputi aspek: (1) pengertian konsultasi, (2) tujuan konsultasi, (3) model layanan konsultasi, dan (4) proses layanan konsultasi.
2.a. Pengertian Konsultasi
Salah satu definisi konsultasi seperti yang dikemukakan oleh Zins (1993), bahwa konsultasi ialah suatu proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik hubungan yang sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan. Konsultasi dalam bimbingan dikandung maksud memberikan bantuan teknis kepada guru-guru, orang tua, dan pihak-pihak lain dalam rangka membantu mengidentifikasi masalah yang menghambat perkembangan siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Mengkaitkan pemberian bantuan bagi anak-anak bermasalah dan konteks sosial-budaya di mana perilaku bermasalah itu timbul, khususnya masalah hubungan interpersonal orang tua-anak, diduga penyelesaian lebih akurat apabila melibatkan peran orang tua (Watson 1996). Layanan konsultasi berbeda dengan layanan konseling, meskipun kedua layanan ini mempunyai unsur kesamaan seperti sama-sama memerlukan kondisi yang kondusif. Model hubungan pada layanan konsultasi lebih bersifat segitiga yaitu konselor, orang tua/guru dan konseli (triadic model). Sedangkan model konseling adalah hubungan yang bersifat komunikasi dua arah yaitu konselor dengan konseli (dyadic model). Kedua model layanan tersebut oleh Drapella (1983) digambarkan pada Gambar 1.
Layanan konsultasi merupakan salah satu komponen dalam bimbingan konseling yang diberikan secara tidak langsung, karena ada hal-hal yang tidak bisa langsung ditangani oleh konselor.
Ada 3 konsep kunci bidang konsultasi, yaitu (1) konseli, adalah pihak yang mempunyai masalah, bisa person yaitu guru, siswa, orang tua, organisasi yaitu sekolah, sistem bisa kurikulum, pembelajaran., (2) konsultan adalah pihak yang memberikan bantuan keahlian (expertise). Di sekolah yang disebut konsultan adalah konselor, (3) Konsulti orang yang mempunyai masalah dan yang membutuhkan pemecahannya. Konsulti di sini bisa orang tua, guru. Berikut ini skema layanan konsultasi dan contohnya:
Landasan layanan konsultasi berpijak pada landasan teori bimbingan menurut Shetzer (1985: 42), bahwa komponen-komponen program bimbingan di sekolah yang perlu mendapat perhatian dalam memberikan pelayanan secara operasional adalah 1) Komponen kelayakan (Apraisal). Komponen ini dirancang untuk mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan berbagai data pribadi secara objektif dan subjektif, baik data psikologis maupun data sosial tentang anak guna membantu dirinya sendiri, 2) Komponen Informasi (Information). Komponen ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pendidikan, pekerjaan, kesempatan sosial agar siswa lebih terampil dalam memilih dan memutuskan secara tepat masalah-masalah dalam masyarakat kompleks, 3) Komponen Konseling (Counseling). Komponen ini dimaksudkan agar konseli dapat memahami dirinya sendiri, mengembangkan diri dalam hubungan dengan kelompok kecil. Fokus utama yang berhubungan dengan keperluan pengembangan pribadi dan pembuatan keputusan yang didasarkan pada pemahaman diri dan pengetahuan lingkungan. 4) Komponen Konsoltasi (Consultation). Komponen ini dirancang untuk memberikan bantuan teknis kepada guru, petugas administrasi, dan orang tua dalam membantu siswa agar lebih efektif dan sekolah sebagai suatu organisasi, 5) Komponen perencanaan, penempatan dan tindak lanjut (Follow up). Komponen ini dirancang untuk membantu pengembangan siswa dalam memilih dan menggunakan pilihan kegiatan yang ada di sekolah dan dalam memasuki pasar kerja, dan 6) Komponen evaluasi (Evaluation). Komponen ini dirancang untuk melihat atau mengetahui sampai sejauh mana efektivitas program bimbingan di sekolah. Dari enam komponen tersebut di atas, komponen konsultasi (Consultation) tepat digunakan sebagai teknik layanan untuk mengembangkan hubungan kerja sama antara konselor dengan orang tua, karena tugas pertama konselor adalah mengidentifikasi situasi yang sering membuat masalah dalam satu organisasi dan mengumpulkan orang-orang yang terlibat untuk membantunya. Identifikasi situasi dapat melibatkan sumber-sumber informasi dan prosedur yang didukung oleh sejumlah orang yang bekerja sama (Shertzer1985). Kerja sama tersebut terjadi antara konselor dengan orang tua melalui latihan-latihan dalam situasi belajar. Peranan konselor menciptakan hubungan baik antara orang tua dengan anak dan bagaimana orang tua memberikan bimbingan yang efektif, menciptakan hubungan yang saling membutuhkan.
2.b. Tujuan Layanan Konsultasi Menurut Fullmer & Bernard (dalam Shetzer,1985) layanan konsultasi bertujuan a) memperbaiki dan memperluas lingkungan belajar orang tua, b) memperbaiki komunikasi dengan cara memberikan fasilitas informasi yang bermanfaat dan langsung bagi orang-orang terkait (orang tua), c) mengajak semua orang yang mempunyai fungsi dan peran dalam memperbaiki lingkungan belajar, d) memperluas layanan para ahli dalam memberikan layanan kepada orang lain yang membutuhkan bantuan, e) memperluas kedalaman layanan pendidikan bagi konselor kepada orang tua, guru bidang studi, dan kepala sekolah, f) membantu orang lain (orang tua) bagaimana belajar menangani tingkah laku bermasalah pada anak, dan g) menggerakan kelompok, organisasi, individu membantu dirrinya sendiri.
2.c. Model Layanan Konsultasi Dilihat dari pengertian dan tujuan layanan konsultasi maka layanan konsultasi mempunyai fungsi kemudahan bagi konsulti (orang tua) bahwa konsultan sebagai pelatih yang mengajarkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan konsulti dalam memecahkan masalah. Konsultan dipandang sebagai profesi dalam sistem persekolahan, mempunyai kewajiban untuk membantu anggota kelompok, staf, dan bahkan individu untuk merencanakan dan memberikan treatment kepada konsulti yang bermasalah. Keahlian konsultan dalam pertemuan adalah menyajikan masalah, merencanakan dan melaksanakan. Shetzer (1985) mengemukakan bahwa pelaksanaan teknik konsultasi, dapat menggunakan model-model konsultasi, antara lain:
1) Model Caplanian. Pelopor teori ini adalah Gerald A.Caplan. Dalam model ini, konsultan mengassesmen, mendiskusukan, dan memberikan saran tentang kasus tertentu. Model ini identik dengan tugas seorang dokter dan menunjukkan adanya aktivitas pemberdayaan bagi konsultee. Proses dari model ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Konsultan membuat Diagnosis.
2. Konsultan membuat rekomendasi dari hasil diagnosis.
3. Konsultan menyampaikan hasil rekomendasi kepada konsultee.
4. Konsultee melaksanakan rekomendasi.
5. Konsultas sekali-kali bertemu dengan klien dengan tujuan untuk croos check/memeriksa apakah konsultee telah menjelankan rekomendasi yang telah diberikan.
2) Model Cunsulcube (model kubus). Pelopor dari model ini adalah Blake dan Mouton, memberikan ciri konsultan sebagai campur tangan yang bertujuan untuk mengubah siklus tingkah laku alamiah manusia. Model ini memberikan kerangka dasar intervensi yang dilakukan konsultan sebagai berikut (a) penerimaan, yaitu untuk memberikan perasaan aman kepada diri konseli agar mampu mengekpresikan masalahnya tanpa ada rasa takut, (b) Catalytic, yaitu membantu konseli mengumpulkan data untuk diinterpretasikan kembali kepada suatu masalah, (c) Konfrontasi, yaitu dirancang untuk membantu konseli agar menguji nilai yang ada dalam anggapannya, (d) Preskripsi, yaitu konsultan meyampaikan pada konseli apa yang harus dikerjakannya, (e) Teori-teori dua prinsip, yaitu konsultan memberikan teori kepada konseli agar mereka meninjau situasi yang menjadi sebab-akibat hubungan dan mengadakan diagnosis serta perencanaan situasi yang ideal.
(1) Model Behavioral
Model behavioral ini, didasarkan pada teori Belajar Sosial. Teori ini mengemukakan adanya dua model, yaitu: (1) Modelling dan (2) Vicarious Learning. Modelling yaitu pemberian contoh. Adanya aktivitas pemberdayaan pada konsultee/orang tua melalui simulasi dan bermain peran/role playing. Dalam hal ini konsultan harus memberikan contoh/model.
Contoh Kasus 1 Dalam situasi sedang rapotan. Seorang ayah melihat rapor dari kedua anaknya. Respon Orang tua Isi Respon Konsultan
I Mengapa nilai rapor adikmu lebih bagus dari pada kamu? Terhadap respon orang tua yang seperti ini akan membuat si anak melakukan defent dan tidak termotivasi untuk belajar. Respon orang tua itu tidak benar, orang tua sudah bersikap mengecilkan hati anaknya karena perilaku membandingkan tersebut. Anak merasa terhukum. Apa yang dilakukan orang tua tersebut menunjukkan adanya pola parenting yang demanding antagonistic/menuntut.
II Pada semester I nilai matematikamu 4, pada semester II ini menjadi nilai 5, itu kan sudah bagus. Respon orang tua itu benar, orang tua sudah bersikap membesarkan hati anaknya karena orangtua membandingkan dengan dirinya sendiri, tidak membandingkan nilai matematika dengan kakaknya atau orang lain.. Apa yang dilakukan orang tua tersebut menunjukkan adanya pola parenting yang accepting.
Respon atas pertanyaan yang diajukan:
Siswa 1 : Mengangkat tangan dengan sopan. Siswa 2 : Mengangkat tangan sambil berteriak Siswa 3 : Mengangkat tangan, berteriak sambil berdiri Siswa 4 : Mengangkat tangan, berteriak, berdiri sambil maju ke depan. Contoh pendekatan Vicarious Learning di atas bertujuan untuk mengajarkan perilaku baru. Pada contoh tersebut di atas, konselor (sebagai konsultan) memberi penguatan pada siswa no.1 (sebagai konsultee) yang dinilai ada perilaku yang santun, menghargai, dengan harapan siswa yang lain (siswa 2, 3, dan siswa 4 sebagai konseli), bisa belajar dari perilaku siswa no.1 yang diberi penguatan oleh konselor.
2.d. Proses Layanan Konsultasi
Cukup banyak konsep tentang isi dan proses konsultasi yang dikemukakan berdasarkan prinsip dan falsafah masing-masing ahli, akan tetapi sesuai dengan prinsip dan karakteristik dari penelitian pengembangan ini digunakan proses konsultasi versi Kurpius. Namun yang perlu diketahui, dalam pelaksanaan konsultasi hal yang amat penting adalah isi (content), yaitu tentang apa yang diperbuat dan proses (process) yaitu tentang fasilitas yang dugunakan untuk pemecahan masalah konsulti. Pada proses ini mempunyai dua versi, yaitu konsultan sebagai katalisator yang membantu konsulti dalam menyelesaikan masalah dan konsultan sebagai fasilitator yang berkonsentrasi untuk mencari pemecahan masalah secara kelompok. Menurut Kurpius (dalam Shetzer,1985), ada sembilan tahap pelaksanaan proses konsultasi. Tahap-tahap tersebut diuraikan sebagi berikut :
1) Pre Entry (sebelum masuk). Konsultan menjelaskan nilai-nilai, kebutuhan, anggapan, dan tujuan tentang individu, kelompok, organisasi serta menilai kemampuan dan keterampilan konsultan sendiri.
2) Entry (masuk). Pernyataan masalah diungkapkan, dihubungkan, dirumuskan dan menetapkan langkah-langkah yang perlu diikuti.
3) Gathering information (pengumpulan informasi). Untuk menjelaskan masalah dengan cara mendengarkan, mengamati, memberi pernyataan, pencatatan yang baku, interview dan pertemuan kelompok.
4) Defining problem (merumuskan masalah). Penilaiaan informasi digunakan dalam menentukan tujuan untuk perubahan. Laporan masalah diterjemahkan kedalam suatu laporan dan disetujui oleh konsultan dan konsulti.
5) Determining problem solution (menentukan solusi masalah). Informasi di analisis dan di sintesis untuk menemukan pemecahaan masalah yang paling efektif terhadap masalah yang dihadapi konsulti. Karakteristik dari tahap ini adalah pencurahan pikiran, memilih, dan menentukan prioritas.
6) Tahap stating objectives (menetapkan sasaran). Hasil yang dicapai diukur dalam suatu periode waktu, kondisi tertentu, dan mendeskripsikan pemecahan masalah dan didukung oleh faktor-faktor lain untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
7) Implementing the plan (mengimplementasikan rencana). Intervensi diimplementasikan dengan mengikuti garis pedoman / langkah, dengan cara memberitahukan semua bagian yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, siapa yang bertanggung jawab dan hasil-hasil yang diharapkan.
8) Evalution (evaluasi). Aktivitas-aktivitas yang sedang berjalan dimonitor, proses, penaksiran hasil yang diperlukan untuk mengevaluasi aktivitas konsultan.
9) Termination (pemberhentian). Kontak langsung dengan konsultan berhenti, tetapi pengaruh proses diharapkan berlanjut. Putusan dibuat untuk menunda perbuatan, perancangan kembali, dan melaksanakan kembali, serta mengakhirinya dengan sempurna. Kurpius menerangkan bahwa tahap-tahap tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisah tetapi masing-masing tahap penting untuk dimufakatkan sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Memperhatikan pembahasan tentang layanan konsultasi di atas, maka yang perlu dilakukan oleh konsultan (pihak sekolah) adalah menekankan pentingnya kerja sama dengan para orang tua. Maksudnya untuk meningkatkan hubungan orang tua dengan anak, dan mempermudah orang tua mengajarkan keterampilan berkomunikasi dengan efektif. Selain mengatur antara rumah dengan sekolah, konsultasi bermanfaat untuk memperoleh upaya yang sesuai dalam melatih anak, membantu orang tua memahami pengaruh kasih sayang terhadap perkembangan anggota keluarga.
Menyimak dan memahami pembahasan yang meliputi aspek (1) pengertian konsultasi, (2) tujuan konsultasi , (3) model layanan konsultasi, dan (4) proses layanan konsultasi di atas; apa yang dilakukan konselor berkaitan dengan kegiatan layanan konsultasi jauh dari konsep teori yang ada. Secara teori, dalam layanan konsultasi sama sekali tidak menunjukkan aktivitas konselor (sebagai konsultan) yang bercorak memberi nasihat. Namun lebih bercorak bagaimana membangun saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan. Menyadari akan minimnya pemahaman konselor tentang teori konsultasi, maka dipandang perlu diadakannya aktivitas yang bersifat pengembangan profesionalitas konselor, lebih-lebih dalam rangka mengkaji secara teori dan latihan-latihan yang representatif berkaitan dengan layanan konsultasi. Aktivitas ini dapat ditempuh antara lain melalui: (a) in-service training, dan (b) kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar dan workshop (lokakarya).
D. Penutup Terlepas dari berbagai persoalan atau hambatan yang ada di lapangan, layanan konsultasi kepada orang tua, sebagai salah satu komponen penting bidang bimbingan konseling dalam upaya membantu mengatasi masalah anak. Sebagaimana ditegaskan dalam Naskah Akademik (2007), bahwa layanan konsultasi sebagai aspek dari layanan responsif yang perlu mendapat perhatian konselor, kiranya dapat menjadi solusi strategis bagi pelaksanaan layanan bimbingan konseling secara profesional.
Layanan konsultasi dapat menjadi media layanan dalam membangun hubungan sinergis antara konselor dan orang tua untuk membantu mengatasi masalah anak. Menyadari terbatasnya pemahaman konselor tentang teori konsultasi, maka dipandang perlu diadakan aktivitas yang bersifat pengembangan profesionalitas konselor, lebih-lebih dalam rangka mengkaji secara teori dan latihan-latihan yang representatif berkaitan dengan pelaksanaan layanan konsultasi. Aktivitas ini dapat ditempuh antara lain melalui in-service training, dan kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar dan workshop (lokakarya). Adapun materi yang dapat dijadikan bahan diskusi adalah menyangkut: (1) pengertian konsultasi, (2) tujuan konsultasi , (3) model layanan konsultasi, (4) proses layanan konsultasi, dan (5) simulasi.
DAFTAR PUSTAKA
ABKIN.2007. Naskah Akademik. Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan Konseling dalam Seting Pendidikan Formal. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Mansyur, Juanda, 2001. Pengembangan Paket Permainan Simulasi untuk Media Layanan Konsultasi bagi Orang Tua Siswa. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Shetzer .1985. Fundamental of Guidance. Boston: Hounghton Company.
Undang-Undang Sisdiknas No.2/1989, UUP N0.20.2003, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, kurikulum 1994, KBK, KTSP.
Watson,T.S. Robinson,S.L. 1996. Direct behavioral consultation: An Alternatif to Tradisional Behavioral Consultation. School Psychology Quarterly.
Yuliejantiningsih, Y.1994. Pembinaan Kedisiplinan bagi Siswa Kelas III SMA Negeri di Kodya Mojokerto. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Zins,J.E.,Kratochwill,T.R.& Elliot,S.N.1993. Handbooks of Consultation services for children. San Fransisco: Jossey-Bass.
Label: bimbingan konseling, layanan konsultasi
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.20 0 komentar
GUIDANCE AND COUNSELING
Part-2
the process of helping individuals discover and develop their educational, vocational, and psychological potentialities and thereby to achieve an optimal level of personal happiness and social usefulness. The concept of counseling is essentially democratic in that the assumptions underlying its theory and practice are, first, that each individual has the right to shape his own destiny and, second, that the relatively mature and experienced members of the community are responsible for ensuring that each person’s choice shall serve both his own interests and those of society. It is implicit in the philosophy of counseling that these objectives are complementary rather than conflicting. The function of those who guide children and young people is not to effect a compromise between the requirements of individuals on the one hand and the demands of the community on the other. It is rather to orient the individual toward those opportunities afforded by his environment that can best guarantee the fulfillment of his personal needs and aspirations.
Q : What is the difference in meaning between 'guidance' and 'counselling'?
A : Answer
Both Guidance and Counseling are process used to solve problems of life. The basic difference is in the approach. In the process of guidance, the client's problems are listened carefully and readymade solutions are provided by the expert where as in the process of counseling the client's problems are discussed and relevant information are provided in-between. In the end of the counseling process, the client himself/herself have a insight to the problem and he/she become empowered to take own decision.
Since readymade solutions (taking decision for others) were provided in guidance, the client may or may not follow it but most often decision taken in the process of counseling are followed sincerely. The set of decisions comes out from guidance and counseling process may be same but in the first process the decision is taken by the guide where as the client take own his/her own decisions in the later process.
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.12 0 komentar
GUIDANCE AND COUNSELING
PART-1
Concept that institutions, especially schools, should promote the efficient and happy lives of individuals by helping them adjust to social realities. The disruption of community and family life by industrial civilization convinced many that guidance experts should be trained to handle problems of individual adjustment. Though the need for attention to the whole individual had been recognized by educators since the time of Socrates, it was only during the 20th cent. that researchers actually began to study and accumulate information about guidance.
This development, occurring largely in the United States, was the result of two influences: John Dewey and others insisted that the object of education should be to stimulate the fullest possible growth of the individual and that the unique qualities of personality require individual handling for adequate development; also in the early 20th cent., social and economic conditions stimulated a great increase in school enrollment. These two forces encouraged a reexamination of the curricula and methods of secondary schools, with special reference to the needs of students who did not plan to enter college. The academic curriculum was revised to embrace these alternative cultural and vocational requirements (see vocational education).
Early guidance programs dealt with the immediate problem of vocational placement. The complexities of the industrial economy and the unrealistic ambitions of many young people made it essential that machinery for bringing together jobs and workers be set up; vocational guidance became that machinery. At the same time, counseling organizations were established to help people understand their potentialities and liabilities and make intelligent personal and vocational decisions. The first vocational counseling service was the Boston Vocational Bureau, established (1908) by Frank Parsons, a pioneer in the field of guidance. His model was soon copied by many schools, municipalities, states, and private organizations.
With the development of aptitude and interest tests, such as the Stanford-Binet Intelligence Test and the Strong Vocational Interest Blank, commercial organizations were formed to analyze people's abilities and furnish career advice. Schools organized testing and placement services, many of them in cooperation with federal and state agencies. Under the provisions of the National Defense Education Act (1958), the federal government provided assistance for guidance and counseling programs in the public secondary schools and established a testing procedure to identify students with outstanding abilities. The U.S. Dept. of Labor has been an active force in establishing standards and methods of vocational guidance, helping states to form their own vocational guidance and counseling services. The personnel departments of many large corporations have also instituted systems of guidance to promote better utilization of their employees.
Modern high school guidance programs also include academic counseling for those students planning to attend college. In recent years, school guidance counselors have also been recognized as the primary source for psychological counseling for high school students; this sometimes includes counseling in such areas as drug abuse and teenage pregnancy and referrals to other professionals (e.g., psychologists, social workers, and learning-disability specialists). Virtually all teachers colleges offer major courses in guidance, and graduate schools of education grant advanced degrees in the field.
Bibliography
See E. Landy et al., Guidance in American Education (3 vol., 1966); B. E. Schertzer and S. C. Stone, Foundations of Counseling (1980); W. G. Herron, Contemporary School Psychology (1984).
____________________
The Columbia Encyclopedia, Sixth Edition Copyright© 2004, Columbia University Press. Licensed from Lernout & Hauspie Speech Products N.V. All rights reserved.
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.04 0 komentar
KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU
I. PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa yang dimaksud 'guru' adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Hal ini sekaligus merupakan pengakuan terhadap profesi guru sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada sembilan tujuan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005 ini yang dijelaskan dalam bagian penjelasannya, di antaranya: meningkatkan martabat guru, meningkatkan kompetensi guru, dan meningkatkan mutu pembelajaran.
Berdasarkan UU tersebut dan kenyataan di lapangan tampak bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan sehingga pada akhirnya berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan proses belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, pengelolaan kelas, penggunaan metoda mengajar, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Untuk memenuhi hal tersebut di atas, guru harus mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada peserta didik sehingga ia mau belajar karena memang peserta didiklah subjek utama dalam belajar. Guru yang mampu melaksanakan perannya sesuai dengan tuntutan seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi.
Sebagai standar kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru dalam melaksanakan profesinya, pemerintah mengeluarkan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Menilik pada Standar Kompetensi Guru yang dikeluarkan tersebut, pertanyaan-pertanyaan berikut ini cukup menggoda untuk sama-sama direnungkan. Apakah "kita" para guru sudah memiliki kompetensi tersebut? Bagaimana menyikapinya? Bagaimana lembaga In-service menyikapinya? Bagaimana lembaga pre-service menyikapinya? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Makalah ini mencoba untuk menyajikan secuil jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun karena keterbatasan space dan forum ini, pembahasannya lebih difokuskan pada salah satu kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik guru.
II. Kompetensi Pedagogik Guru dan Bagaimana Menyikapinya.
Kompetensi Pedagogik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari empat kompetensi utama yang harus dimiliki seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru saat melaksanakan profesinya. Kompetensi Pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran peserta didik. Selain itu kemampuan pedagogik juga ditunjukkan dalam membantu, membimbing dan memimpin peserta didik. Menurut Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 kompetensi pedagogik guru mata pelajaran terdiri atas 37 buah kompetensi yang dirangkum dalam 10 kompetensi inti seperti disajikan berikut ini.
1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu.
4. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.
6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
10. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Guru Sains dan Kompetensi Pedagogik Guru
Guru adalah Kunci Keberhasilan pendidikan dan pengajaran sains. Tanpa pengajaran sains yang baik, pendidikan sains tidak akan berhasil. Ada banyak faktor yang turut menentukan pengajaran yang baik.
• Silabus atau kurikulum yang baik
• Sumber pengajaran yang tepat
• Metoda pengajaran baru
• Alat bantu baru
• Masa depan guru yang baik
Namun semuanya tidak dapat menjamin pendidikan yang baik jika guru tidak dapat mengajar dengan baik. Dengan demikian guru adalah kunci keberhasilan dari pendidikan yang baik. Guru yang kompeten dapat menjalankan kurikulum meskipun kekurangan sumber maupun alat bantu. Guru yang kompeten dapat mengatasi kekurangan-kekurangan. Guru yang tidak kompeten tidak akan berhasil meskipun segala sesuatu sudah tersedia.
Bagaimana dengan 'guru' saat ini? Sudahkah 10 butir kompetensi pedagogik tersebut dimiliki? Sudah layakkah 'guru' disebut 'guru yang kompeten'?
Beberapa waktu yang lalu, dilakukan riset sederhana dengan mengajukan beberapa pertanyaan terhadap beberapa guru dalam berbagai kesempatan. Kepada mereka ditanyakan hal-hal berkaitan dengan perkembangan peserta didik serta teori-teori belajar. Dari jawaban yang diberikan guru, ternyata lebih dari 90% sudah tidak menguasai lagi teori-teori perkembangan peserta didik dan teori-teori belajar. Padahal kalau dirujuk pada 10 kompetensi pedagogik guru, penguasaan terhadap teori perkembangan dan teori-teori belajar mutlak ada pada guru. Ini adalah fakta yang mengkhawatirkan.
Kepada guru, perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa penguasaan terhadap materi perkembangan peserta didik, teori-teori belajar, pengembangan kurikulum, teknik evaluasi, penguasaan terhadap model-model dan metode pengajaran, adalah perlu, di samping penguasaan terhadap mata pelajaran dan iptek yang berkaitan dengan pengajaran. Dengan kesadaran bahwa kompetensi ini belum dikuasai secara maksimal, maka hendaklah 'guru' berinisiatif untuk terus menerus mencari informasi hal-hal yang disebutkan di atas, serta memperbaharui dirinya melalui penyegaran dengan mengikuti berbagai forum ilmiah.
Pelaksanaan kegiatan MGMP adalah salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan guru dalam rangka menyikapi kurangnya penguasaan terhadap kompetensi pedagogik ini. MGMP tidak hanya sekedar lembaga musyawarah, tetapi dapat dijadikan forum ilmiah sesama guru atau nara sumber serta dapat pula dijadikan lembaga supervisi teman sejawat. Kegiatan lain yang harus dilakukan oleh 'guru' zaman sekarang adalah aktif berselancar di dunia maya. Banyak situs serta mailing list tempat memperoleh dan berbagi informasi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan pengajaran ataupun penguasaan bidang studinya.
Tinggal lagi sekarang pertanyaannya adalah mau atau tidak 'guru' berubah. Tidak dapat tidak, dengan adanya Permendiknas Nomor 16 tersebut jawaban satu-satunya adalah harus mau. Inipun tidak dapt ditunda-tunda lagi. Perubahan harus dimulai dari sekarang.
Lembaga Pre-service dan Kompetensi Pedagogik Guru
Lembaga pre-service guru adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yang bisa berupa IKIP, FKIP atau lembaga keguruan lainnya. FKIP Universitas Mulawarman adalah salah satunya, termasuk Program Studi Pendidikan Fisika. Sampai saat ini di Program Studi Pendidikan Fisika, masih digunakan model pendidikan simultan (concurrent model), dimana materi kependidikan diberikan bersama-sama dengan materi bidang studi fisika. Malah lebih sering materi kependidikan ini diberikan lebih dahulu pada semester-semester awal. Hal ini akan berdampak bahwa penguasaan materi yang mendasari kompetensi pedagogik tidak sejalan dengan materi bidang studinya, atau lebih ekstrim bisa sudah terlupakan. Apalagi jika materi-materi dasar kependidikan dan yang berkaitan dengan PBM yang dilaksanakan tidak disesuaikan dengan perkembangan mutakhir, sehingga materinya jadi ketinggalan dibandingkan perkembangan yang terjadi di lapangan.
Langkah yang dapat diambil oleh LPTK untuk menyikapi ini adalah melaksanakan pendidikan sebagaimana pendidikan profesi lainnya, dimana dilaksanakan model pendidikan berurutan (consecutive model). Pada pendidikan profesi lainnya, pendidikan profesi ditempuh setelah pendidikan bidang studi selesai. Hal ini dapat kita lihat contohnya dalam pendidikan dokter. Jadi, kalau di pendidikan fisika misalnya, akan terjadi pendidikan untuk bidang studinya lebih dulu, baru pada semester-semester akhir diberikan materi kependidikan dan Pengajaran sebagai bekal kompetensi pedagogiknya.
Muslimin Ibrahim (Hasil wawancara dalam Trianto, 2006) menyebutkan bahwa LPTK diproyeksikan akan menyelenggarakan consecutive model dalam melaksanakan pendidikan profesi guru pada periode 2007. Namun kenyataannya, sampai saat ini persiapan kearah itu belumlah tampak. LPTK masih disibukkan oleh kegiatan sertifikasi guru, sehingga pemikiran ke arah bagaimana pendidikan guru mendatang akan dilakukan belumlah menguat.
Selain itu, untuk menyikapi kompetensi pedagogik guru ini, LPTK juga harus pro aktif untuk menyesuaikan isi kurikulumnya dengan perkembangan yang terjadi di lapangan. Kerjasama dengan alumni, 'para guru' untuk mendapatkan masukan yang 'up to date' langsung dari lapangan juga sangat perlu dilakukan oleh LPTK. Hubungan timbal balik ini akan saling menunjang penguasaan kompetensi pedagogik guru, baik oleh mahasiswa calon guru ataupun oleh 'guru' yang sedang aktif di lapangan.
Lembaga In-service dan Kompetensi Pedagogik Guru
Lembaga in-service training guru adalah lembaga user guru, dalam hal ini dapat berupa Pemda yang diwakili Dinas Pendidikan, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) serta sekolah (kepala sekolah dan lembaga komite sekolah) sebagai user langsung guru. Lembaga berkewajiban memberikan pendidikan lanjutan kepada guru sebagai langkah pembinaan karirnya.
Pembinaan karir seorang guru seharusnya dimulai sejak 6 tahun s/d 60 tahun. Pendidikan lanjutan setelah pre-service adalah sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pengajaran selama guru berkarir. Kesempatan harus diberikan agar guru yang baik menjadi lebih baik, sedangkan guru yang kurang kompeten dapat meningkatkan kemampuannya. Pembinaan karir antara lain dapat dilakukan melalui: media publikasi, penataran in-service, dan konferensi atau seminar.
Tiga strategi tersebut belumlah dikembangkan secara optimal oleh lembaga in-service. Dengan keterbatasan yang ada, tidak ditemukan media yang khusus disebarkan di kalangan guru untuk tujuan peningkatan kompetensinya. Yang ada hanyalah media publikasi seremonial yang berisi kegiatan-kegiatan dengan tujuan lain. Hal ini juga disebabkan masih rendahnya minat dan kemampuan 'guru' dalam menulis. Begitu juga dengan kegiatan penataran-penataran atau workshop yang diadakan, sangat sedikit yang memfokuskan pada peningkatan kemampuan penguasaan teori belajar, pengembangan kurikulum, metode pengajaran dan bidang pendidikan lainnya. Penataran yang ada kebanyakan berisi sosialisasi dan peningkatan penguasaan bidang studi. Demikian juga dengan animo guru dalam mengikuti seminar atau forum ilmiah lainnya masih sangat kurang. Yang berharga bagi sebagian 'guru' adalah sertifikatnya, bukan pada apa yang diperolehnya dari seminar tersebut. Padahal seminar dan lokakarya adalah salah satu tempat bagi guru untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi di lapangan.
Dari ketiga komponen tadi, yakni guru, lembaga pre-service, dan lembaga in-service ini, jika terjadi sinergi yang bagus, maka dapat diharapkan hasil yang bagus pula. Guru menguasai kompetensi pedagogik, dan kompetensi lainnya, sehingga dapat disebut guru profesional. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya mutu pendidikan nasional seperti yang dicita-citakan oleh segenab bangsa ini. Guru yang baik tentu adalah guru yang kompeten, yaitu yang menguasai seluruh kompetensinya. Guru seperti inilah yang sangat diharapkan peserta didik.
III. PENUTUP
Guru yang baik, adalah guru yang mencintai dan memahami baik bidang studinya maupun anak didiknya. Akhirnya, perlu disimak pendapat William Arthur Ward, ia mengelompokkan guru menjadi empat bagian, yakni:
The mediocre teacher tells;
The good teacher explains;
The superior teacher demonstrates;
The great teacher inspires! The great teacher inspires and learns as weel
Mau jadi guru yang jenis mana, tentukan sendiri. Ingin jadi guru. Jadilah guru yang kompeten. Guru yang profesional.
KEPUSTAKAAN
Cullingford, C. 1995. The Effective Teacher. London: Cassell
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Trianto S, Dan Titik TT. 2006. Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Undang-undang Guru dan Dosen (2005) Jakarta: Sinar Grafika
Diposting oleh Izoers Suryana di 00.52 0 komentar
Jumat, September 18, 2009
ANAKKU YANG PERTAMA
Allhamdulillah pada Hari Senin tepatnya tanggal 28 Juni 2004 anakku terlahir ke dunia ini. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang memberikan kepercayaan kepadaku dengan menganugerahkan seorang anak laki-laki. Aku memberi nama pada anakku "GILAN RIZQAN FAZA" yang artinya "GILAN = RIZQI YANG MENGUNTUNGKAN". Mudah-mudahan Ya Allah anakku ini memberikan keberuntungan dari semua rizqi yang kudapatkan sehingga barokah dan yang terpenting aku dapat menapakahkan rizqiku di jalan yang diridhoi Allah SWT.
Aku sangat berharap kelak anakku dapat melanjutkan perjuanganku untuk selalu memberikan kemudahan kepada orang lain yang membutuhkan potensi yang kita miliki. Sekarang menginjak usianya ke-5 tahun 6 bulan, aku selalu berharap agar aku mendapatkan rizqi yang cukup untuk membersihkan (mengkhitan) anakku yang merupakan ciri utama seorang muslim. Mudah-mudahan Allah SWT mengkobul keinginanku, maksimal pada tahun 2012 semuanya sudah terlaksana dengan lancar dibawah lindungan dan keridhoan Allah SWT. Amiin.
Label: story of family
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.24 0 komentar
Kamis, September 10, 2009
RAMADHAN 1430 H.
Diposting oleh Izoers Suryana di 02.42 0 komentar