BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi menuntut manusia semakin maju dan berkembang untuk mengimbangi derasnya pertumbuhan ekonomi dan teknologi. Dunia bisnis, birokrasi, pendidikan dan kesejahteraan akan semakin sulit mengimbanginya jika tidak mempunyai sesuatu yang lebih baru, dan inovatif. Dalam bidang ekonomi berbasis pendidikan, ide-ide inovatif dan capital intelektual merupakan kunci khusus dalam terwujudnya pertumbuhan ekonomi dan persaingan global. Oleh karena itu., setiap perusahaan membutuhkan pekerja yang berpendidikan tinggi untuk mengimbangi segala kebutuhan perusahaan tersebut. Perusahaan juga membutuhkan pekerja memahami konsep-konsep baru, mengaplikasikan dan memadukan dengan konsep yang lainnya.
Refleksi dari keadaan ini harus segera ditangani oleh seorang pemimpin yang mempunyai visi kedepan. John P Kotter (dalam Sudjarwadi, 2003) menyebut empat penyebab utama yang memaksa organisasi untuk berubah. Keempat faktor tersebut adalah: perubahan teknologi, integrasi ekonomi internasional., kejenuhan pasar di negara-negara maju serta jatuhnya rezim komunis dan sosialis. Faktor-faktor ini merupakan indikasi awal dari sebuah perubahan zaman dengan mobilitas yang tinggi.
Pepatah lama mengatakan bahwa cara untuk memprediksi masa depan adalah dengan cara menciptakannya. Sampai saat ini, tidak banyak manajer yang berfikir mengenai masa depan walaupun ada, mereka melakukan dengan orientasi jangka pendek, contohnya merencanakan keuntungan perusahaan tahun depan. Kurangnya pemikiran strategis jangka panjang dapat berdampak pada perkembangan perusahaan karena tujuan-tujuan jangka pendek dan pembukaan pasar untuk mencapai keuntungan mungkin tidak akan bisa mengimbangi konsep dasar kekuasaan masa depan. Visi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ingin dicapai secara ideal dari seluruh aktivitas. Visi juga dapat diartikan sebagai gambaran mental tentang sesuatu yang ingin dicapai di masa depan. Visi adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun tertentu. Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mncanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan mememperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebut bahwa pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara makro pendidikan nasional berjalan membentuk organisasi pendidikan yang bersifat otonom sehingga mampu mlakukan inovasi dalm pendidikan untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemapuan komunikasi sosial yang positif dan memiliki sumber daya manusia yang sehat dan tangguh. Sedangkan secara mikro pendidikan nasional membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar (maju, cakap, cerdas, inovatif, dan bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis), dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri.
Mewujudkan tujuan pendidikan tersebut dibutuhkan peran yang kuat dari seorang pemimpin lembaga pendidikan, dimana fungsi kepemimpinan tersebut merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, pinpinan lembaga yang dipimpin melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikannya. Globalisasi cenderung memberikan pengaruh yang penting terhadap sifat kepemimpinan dalam semua bidang kegiatan tidak terkecali bidang pendidikan. Sementara pemimpin lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyediakan kepemimpinan profesi yang efektif berkaitan dengan hal-hal pndidikan yang spesifik, termasuk proses belajar mengajar, dan juga menyediakan kepemimpinan organisasi yang efektif, mengacu kepada menajemen staf, sumber daya keuangan dan barang dan hubungan eksternal.
Bagaiamanapun., pengakuan terhadap pentingnya kualitas kepemimpinan pada level lembaga kependidikan meningkat dengan tujuan untuk mencapai efektifitas lembaga pendidikan dan penelitian pengembangan yang dilakukan pada lingkungan lembaga pendidikan sebagai bagian pencapaian visi dan misi yang diemban oleh lembaga pendidikan iu sendiri.
Makalah ini, mencoba memamparkan konsep sistem pendidikan yang didasarkan pada konsep kepemimpinan visioner dan tranformasional serta upaya yang dilakukan untuk menuju pendidikan yang diharapkan berdasarkan kedua konsep kepemimpinan tesebut.
Pandangan terhadap pendidikan sebagai investasi secara mendasar berawal dari pandangan keluarga terhadap hal tersebut. Apabila keluarga telah meyakini bahwa pendidikan merupakan investasi maka mereka akan mempersiapkan anak-anak mereka dengan segala daya dukungannya untuk memperoleh pengalaman pendidikan secara optimal. Selain itu, dukungan dari para pelaku ekonomi yang memandang pendidikan sebagai investasi akan memberikan konstribusi terhadap terwujudnya program-program pendidikan dan latihan yang memungkinkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dari segi pengetahuan dan keterampilan, yang ada akhirnya meningkatkan penghasilan dan produktivitas baik pribadi maupun sosial, temasuk pada perusahaan sebagai pelaku ekonomi yang memanfaatkan SDM hasil pendidikan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penerapan di atas, maka makalah ini akan membahas faktor-faktor apa saja yang mendukung kepemimpinan transformasional dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
1.3 Identifikasi Masalah
Masalah yang dikaji dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana peran pemimpin transformasional dalam meningkatkan kulitas lembaga pendidikan?
2. Apa metode pengambilan keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin transformasional dalam meningkatkan kulitas pendidikan?
3. Bagaimana pengaruh-pengaruh kelompok dalam pengambilan keputusan?
1.4 Prosedur Pemecahan Masalah
1. Penelaahan data dan fakta mengenai kepemimpinan tranformasional kualitas pendidikan, dan metode pengambilan keputusan.
2. Kajian pustaka dari berbagai sumber
3. Pembuatan makalah yang terkait dengan konsep kepemimpinan transformasional, kualitas pendidikan, serta metoda-metoda pengambilan keputusan.
BAB II
ISI KAJIAN
2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Pengertian Kepemimpinan
Bebagai pendapat dan definisi kepemimpinan muncul, sesuai dengan dari segi apa orang memandang segi kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan dapat diartikan sebagai sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administrative, dan presepsi lain-lain tentang legitimasi pengaruh (Wahjosumijo, 1999). Menurut Richad Hull (1999:135), Kepemipinan adalah kemapuan mempengaruhi pendapat, sikap dan perilaku orang lain. Hal ini berarti bahwa setiap orang mampu mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan dapat berfungsi sebagai pemimpin. Kepemimpinan (leadership) merupakan proses yang harus ada dan perlu diadakan dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup bermasyarakat sesuai kodratnya bila mereka melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang lain. Hidup bermasyarakat memerlukan pemimpin dan kepemimpinan. Kepemimpinan dapat menentukan arah atau tujuan yang dikehendaki, dan dengan cara bagaimna arah atau tujuan tersebut dapat dicapai.
Kepemimpinan seseorang berperan berbagai pengerak dalam proses kerja sama antara manusia dalam organisasi termasuk sekolah. Untuk lebih jelas di bawah ini akan diuraikan mengenai pengertian tentang kepemimpinan. Menurut Paul Heresay dan Keneth H. Blanchard yand dikutip oleh Pandji Anoragan dalam bukunya Perilaku Keorganisasian, pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu “(Pandji Anoraga, 1995:186). Menurut Martin J. Gannon, sebagaimana dikutip oleh Pandji Anoraga, pemimpin adalah seorang atasan yang mempengaruhi perilaku bawahannya” Sedangkan menurut Kartini Kartono (1998:84), pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian saran-saran tertentu.”
Dari definisi di atas jelas bahwa, seorang pemimpin adalah orang yang memiliki posisi tertentu dalam hirarki organisasi. Ia harus membuat perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan serta keputusan efektif. Pemimpin selalu melibatkan orang lain, Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dimana ada pemimpin maka disana ada pengikut yang harus dapat mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan. Jadi kepemimpinan itu akan terjadi dalam situasi tertentu seseorang mempengaruhi perilaku orang lain. Kepemimpinan seseorang berperan sebagai penggerak dalam proses kerja sama antar manusia dalam organisasi termasuk sekolah. Berdasarkan pemikiran ini, maka harus dibedakan antara kepemimpinan dan manajemen. R.D. Agarwal sebagaimana dikutip Pandji Anoraga (1995:186)mengatakan bahwa kepemimpinan adalah “seni mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan kemauan mereka”. Kemampuan dan usaha untuk mencapai tujuan pemimpin. Kepemimpinan menurut Hall digambarkan seperti suatu pemecahan yang sangat mudah terhadap gejala masalah dalam berorganisasi. Dengan kata lain tujuan kepemimpinan adalah mempengaruhi organisasi lain, dalam hal ini karyawan atau bawahan untuk mencapai misi perusahaan/organisasi.
Kemampauan untuk mempengaruhi orang lain merupakan inti dari kepemimpinan sedang untuk mempengaruhi orang lain, pemimpin perlu mengetahui beberapa strategi antara lain : (a) Menggunakan fakta dan data untuk mengemukakan dan alasan yang logis, (b) Besikap bersahabat dan mendukung upaya yang ada dalam perusahaan, (c) Memobilisasi atau mengaktifkan orng lain untuk melaksanakan pekerjaan, (d) melakukan negosiasi, (e) Menggunakan pendekatan langsung dan kalau terpaksa menggunakan kedudukan lebih tinggi dalam organisasi, dan (f) memberikan sanksi dan hukuman terhadap perilaku yang menyimpang. Sehubungan dengan yang telah diuraikan di atas jelas bahwa, kemampuan meminpin dan ketaatan pada pemimpin lebih banyak didasarkan pada gaya kepemimpinan yang ditunjukkan kepada pemimpin itu sendiri.
Agar tidak terdapat kesalahpahaman dalam membicarakan tentang kepemimpinan, maka tidak dapat dilepas dari perilaku dan gaya kepemimpinan, ini merupakan suplemen untuk melihat hakikat kepemimpinan itu sendiri; dimana dalam penelitian ini akan mengulas tentang kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah akan dapat diuraikan tentang hakikat kepemimpinan kepala sekolah. Pada dasarnya para pemimpin menerapkan “pertama, otokratis (otoriter) adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentuakan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pemimpin semata-mata. Atau dengan kata lain pemimpin-pemimpin yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemberi perintah dan mengharuskan orang lain mematuhinya. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa, ciri kepemimpinan gaya otoriter tersebut adalah memberikan instruksi secara pasti, menuntut kerelaan, menekan pelaksanaan tugas, melakukan pengawasan tertutup, bawahan tidak dapat mempengaruhi keputusan pemimpin, bawahan tidak memberikan saran.
2.1.2 Sifat Kepemimpinan
Sehubungan dengan kedudukan dan peranan kepemimpinan yang strategis, maka agar kepemipinan yang bersangkutan mampu bekerja secara maksimal sangatlah dibutuhkan sifat-sifat atau kemampuan tertentu dari diri pemimpin yang bersangkutan. Iskandar menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu: memiliki empati yang tinggi; merupakan anggota dari kelompok; penuh pertimbangan, kebijaksanaan dan arif; lincah dan bergembira, baik dalam suka maupun duka; memiliki emosi yang stabil; memiliki keinginan dan ambisi untuk memimpin; memiliki kompetensi; memiliki intelegensi yang cukup; konsisten dan sikapnya dapat diramalkan; memiliki kemampuan untuk berbagi kepentingan dengan anggota yang lain (Iskandar Jusman, 1999)
Seorang pemimpin harus menjadi pusat komunikasi, untuk dapat menyampaikan pikiran dan keinginannya kepada sekitarnya, namun juga sensitive/peka untuk menerima semua informasi dari lingkungannya. Sebab, jika seorang pemimpin mau memaksakan pikiran dan ide-ide sendiri saja, dan tidak peka terhadap isyarat-isyarat yang diberikan oleh lingkungan, maka tidak ubahnya dia itu bertingkah laku sebagai pemain orkes tunggal yang diktatoris dan otokratis. Dan pemimpin yang seperti itu menganggap dirinya paling super dalam segala hal. Dia dihormati lingkungannya, mengikuti sesama dan para pengikutnya pandai dalam bertimbang rasa, selau bersikap rendah hati, luwes, terbuka dan reseptif tanpa dibebani perasaan-perasaan superior yang bisa membuat dirinya menjadi angkuh dan sewenang-wenang terhadap lingkungannya.
2.1.3 Tipe-tipe dan Pendekatan Kepemimpinan
Sebagian (1999:27) mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan yaitu :
a. Tipe Otokratik. Kepemimpinan itu berdasarkan dirinya pada kekuasaan paksaan yang selalu harus dipatuhi. Pemimpinnya harus berperan sebagai pemain tunggal pada “a one man show”.
b. Tipe Paternalistic, yaitu tipe gaya kebapaan, dengan sifat-sifat antara lain: menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak atau belum dewasa; besikap selalu melindungi; jarang memberikan kesempatan pada bawahannya untuk mengambil keputusan sendiri; hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreatifnya; mersa dirinya tahu segalanya.
c. Tipe Laissez Faire, yaitu seorang pemimpin yang praktis tidak memimpin, sebab dia membiarkan kelompoknya berbuat semaunya.
d. Tipe Demokratik, yaitu pemimpin yang memberikan bimbingan yang efisien kepada bawahannya, dengan penekanan rasa tanggung jawab internal dan kebijakan yang baik.
2.1.4 Kepemimipinan Pendidikan
Seperti telah diuraikan di atas, kepemimpinan adalah merupakan proses kegiatan membingbing dan mempengaruhi hubungan aktivitas-aktivitas pekerjaan dari suatu kelompok sedemikian rupa sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan. Tampak disini bahwa ada tiga butir implikasi yang sangat penting diperhatikan, yaitu, 1) adanya bawahaan atau pengikut, 2) adanya distribusi, 3) adanya pengaruh atasan kepada bawahaan. Dengan menyebut kepemimpinan kepal sekolah maka akan tampak cirri-ciri khas kepemimpinan dari kepala sekolah. Cirri-ciri khas tersebut meliputi adanya faktor layanan, bimbingan, mendidik, mengemong terhadap guru-guru oada sekolah yang dipimpnnya.
Kepemimpinan kependidikan sendiri didefinisikan sebagai satu kemampuan dan proses mempengaruhi, membingbing, mengkoordinasi, dan menggerakan orang lain yang ada hubungan drngan pengembangkan ilmu pendidikan, dan pelaksanaan pendidikan dan mengajar agar kegiatan-kegiatan dijalankan lebih efisien dan efektif didalam pencapaian tujuan “pendidikan dan pengajaran” (Sukarto . 1984:45) kepla sekolah/Sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepla sekolah mempunyai peranan dan fungsi yang penting dalam pelaksanaan program pedidikan sekolah.
Bagaimanakah jenis kepemimpinan yang diperlukan sekolah saat ini ? Menurut Sutisna (1983:277) “jenis kepemimpinan institusional” hal ini dimaksudkan bahwa kepemimpinan seperti ini bisa menjawab tantangan yang berhubungan dengan pembaharuan pendidikan yang sedang dijalankan pemerintah. Lebih lanjut ia mengemukakan, bahwa kepala sekolah lebih dari seorang manajer organisasi, tetapi ia terlibat dalam penentuan tujuan, cara maupun proses. Ia menjalankan peranan yang bertanggung jawab dalam perumusan maupun pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan di sekolah.
Bertolak dari uraian di atas, maka kepemimpinan kepala sekolah yang dimaksud adalah perilaku kepala sekolah dalam melaksanakan pengarahan, pengawasan, pemberian motivasi kepada guru, serta berkomunikasi dengan guru dalam melaksnakan tugas menurut persepsi mereka. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan dimensi dan indikator persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, sebagai berikut (1) interpretasi atau pemahaman guru terhadap kepemimpinan kepela sekolah, meliputi: pendapat guru terhadap kepemimpinan, kemauan diri dalam memimpin, berhubungan dan berkomunikasi dengan guru serta peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin. Dengan demikian berarti, kepala sekolah harus berusaha memaksimalkan kepemimpinannya guna mempengaruhi para guru untuk melakukan usaha dengan keras dan antusias dalam mencapai tujuan sekolah. Dengan kata lain guru besedia menggunakan kemampuan dan profesionalisasi daam bekerja untuk mencapai kinerja yang diharapkan, sehingga dengan loyalitas yang tinggi didapatkan kualitas pendidikan yang diharapkan.
2.2 Kepemimpinan Transformasional
Bangsa ini perlu di arahkan oleh suatu kepemimpinan transformasional,yaitu suaktu karakter kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan pada tataran nilai. Kepemimpinan akan mampu mengajak publik untuk secara teguh menghadapi tujuan-tujuan yang lebih hakiki ketimbang sekadar pemenuhan kepentingan jangka pendek. Pemimpin transformasional untuk secara inspirasional memvisualisasikan bentuk masyarakat baru yang ingin dicapai. Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan setiap individu untuk menjadi aktor utama proses perubahan. Pemimpin transformasional merupakan modifikasi dari pemimpin karismatik. dengan kata lain, semua pemimpin transformasional adalah pemimpin karismatik, namun tidak semua pemimpin karismatik adalah pemimpin trasformasional, pemimpin transformasional memiliki karakter yang karismatik karena mereka mampu untuk membangun ikatan emosional yang kuat dengan publik untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, bagi pemimpin transformasional, ikatan yang dibangun dengan publik lebih bersifat kesamaan system nilai ketimbang loyalitas personal (Huges 2001). Manakala para pemimpin karismatik kerap terjebak pada pemusatan ambisi yang kemudian justru mengerdilkan arti kepemimpinan mereka, pemimpin transformasional memberikan kontribusi subtantif dengan keberhasilan mendobrak kultur lama dan merintis tatanan nilai baru. Namun penting untuk disadari bahwa tmpilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instant, namun melalui penitian karir secara berjenjang dan melalui proses yang berliku.
Perhatian peran kepeminpianan di dalam proses manajemen perubahan mulai muncul, pada waktu orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yangselama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan angggapan orang bahwa perubahan itu justru untuk menjadikan tempat kerja itu menjadi lebih manusiawi, sehingga dalam merumuskan proses perubahan biasanya dipergunakan pendekatan transformasional dimana lingkungan kerja yang pratisatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan, dianggap sebagai proses yang melatar belakangi proses tersebut. Namun di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang bersifat teknikal, dimana manusia cendrung dipandang sebagai entiti ekonomik yang siap diamanipulasikan dengan menggunakan system imbalan dan umpan balik negative, dalam rangka mencapai manfaat ekonomis yang sebesar-besarnya (Bass, 1990; Bass dan Avilio, 1990; Hatter dan Basss, 1988 di dalam Yull 1994). Sementara Burns (1987) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinngi.
Dengan demikian pemimpin transformasional dapat meningkatkan kesadaran bawahnya akan tata nilai yang memiliki orde lebih tinggi, seperti kebebasan, keadilan, dan kebersamaan. Pemimpin disebut tranformasional diukur dalam hubungan dengan rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaaan, dan hormat para pengikut terjhadap pemimpin tersebut. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: [1] membuat mereka lebih sadar akan pentingnya suatu pekerjaan, [2] mendorong mereka lebih mendahlukan organisai atau tim dari pada kepentingan dirinya, dan [3] mengaktifkan kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.
Kepemimpinan tranformatif meningkatkan kesadaran para pengikutnya dengan menarik cita-cita dan nila-nilai seperti, keadilan (justice), kedamaian (peace) dan persamaan (equality) (Sarros dan Satonsa, 2001). Tipe leadership ini mendorong para pengikutnya (individu-individu dalam satu institusi) untuk menghabiskan upaya ekstra dan mencapai apa yang mereka anggap mungkin (Arnold, Barling dan Kelloway, 2001). Transformasional leadership terdiri dari individualized consideration, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan idealized infulence (Sarros dan Santosa, 2001; Pounder, 2003).
• Idealized influence atau charisma. Para pemimpin menyediakan visi dan pengertian terhadap misi, memasukan kebanggan, memperoleh rasa hormat, kepercayan dan meningkatkan optimisme. Pemimpin seperti ini meningkatkan optimisme. Pemimpin seperti ini meningkatkan kegairahan dan dan menginspirasi para bawahannya. Sub-dimensi ini mengukur tingkat kekaguman dan kebanggan para pengikutnya.
• Individualiced onsideration. Para leader memberiakan peltihan dan menotoring, menyediakan umpn balik berkeseinbungan dan menghubungkan kebutuhan anggota organisasi ke misi organisasi. Subdimensi merupakan suatu alat ukur terhadap tingakat yang mana pemimpin memperhatikan apa yang menyadari concern dan kebutuhan yang berkaitan dengan pengembengang para indiviu pengikutnya.
• Inspiirtioanl motivational. Pemimpin bertindak sebagai sbuah model atau contoh (keteleadanaan) bagi para bawahanya, mengkomunikasi visi dan menggunkan symbol-symbol untuk mengfokuskan upaya-upaya yang dilakukan. Sub-dimensi ini mengukkur kemampuan pemimpin untuk menumbuhkan kepercayan (corfidence) terhadap visi dan nilai-nilai pemimpin.
• Inteelctuall situmultion . para pemimpin menstimulsi pengikutnya untuk memikirkan kembali cara atu metode kerja yang lama dan menilai kembali nilai-nilai dan keprcayaan merka yang lama. Dimensi ini berkenan denggan derajad dimana para pengikutnya disediakan tugas-tugas yang menentang dan didorong untuk memecahkan masalah dengn cara mereka sendiri. Kemudian pounder (2001; dalam Pounder, 2003) me-merinfe aspek tranformasional leadership yang dinyatakan secara implist pada aspek aslinya menjadi: inspirational motivation, integrity, innovation, impression management, individual consideration, dan intellectual stimulation. Pounder (2001; dalam 2003) memperlus sub-dimensi idealized influence dengan menambahkan tiga sub-dimensi lainnya, yaitu :
• Integriti pemimpin “work the talk”, mereka menyelaraskan perbuatan dengan perkataannya. Dimensi ini mengukur tingkat mana para pengkutnya mempersepsikan derajat kesesuaian yang tinggi antar perkataan dan yang diekspresikan dengan perbuatannya.
• Innovation. Para pemimpin dipersiapkan untuk menantang keterbatasan yang ada dan proses dengan pengmbilan resiko dan mengeksperimenkannya. Para pemimpin mendorong para bawahnya untuk mengmbil resiko dan bereksperimen dan memperluaskan kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar dari pada diperlakukan sebagai celaan. Sub-dimensi ini fokus pada tingkat yang mana meminpin membutuhkan sebuah komitmen inovasi organisasi.
• Imreesion management. Pemimpin dipersiapkan untuk membawahi kebutuhan personal dan berhasrat untuk kebaikan umum. Pemimpin adalah orang “yang memberi” yang teliti untuk memberi selamat kepada keberhasilan bawahannya dan orang yang hangat dan perhatian terhadap bawahan tidak dibatasi pada kehidupan kerja mereka. Sub-dimensi ini mengukur tingkatan mana anggota organisasi mempersiapkan bahwa pemimpin mereka sebagai prinadi dibandingkan sekedar intrumen pemimpin atau misi organisasi.
2.2.1 Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Akan Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja mempengaruhi kinerja organisasi, sehingga dapat diartikan kinerja seseorang akan meningkat ketika kualitas kehidupan kerja dari individu berada pada posisi yang tinggi. Kualitas kehidupan kerja pada beberapa penelitian dihubungkan dengan kepemimpin, dimana kepemimpinan yang efektif akan selalu memberikan dampak dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja dari bawahanya. Podsakof et.al (1996), menunjukkan bahwa “kepemimpinan tranformasional memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja secara menyeluruh”. Kepemimpinan tranformasional mempunyai pengaruh signifikan dengan kepuasan akan kehidupan kerja secara menyeluruh”. Kepemimpinan transformasional mempunyai pengruh signifikan terhadap kualitas kehidupan kerja .
2.2.2 Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasi.
Secara orgnisasional komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya memulai perilaku kepemimpinan, seperti yang dikemukakan oleh Su-Yung Fu (2000) bahwa “selain kepemimpinan tranformasional, hal lain yang penting dalam perilaku oganisasional adalah komitmen organisasi. Dalam tiga dekade terakhir, komitmen organisasi telah dipandang sebagai salah satu variabel yang paling penting dalam mempelajari manajemen dan perilaku organisasi”. Dalam kesempatan yang sama Yousef (2000) menggunakan bahwa terhadap hubungan secara positif antara perilaku kepemimpinan dengan komitmen organisasi. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan tranformasional memiliki pengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi.
2.2.3 Kepemimpinan Tranformasional dan Perubahan
Kepemimpinan tranformasional dikhtisarkan oleh penyataan Tichy dan Ulrich, yaitu: “Apabila manjer transaksional hanya membuat penyesuaian-penyesuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen sumber daya manusia, maka pemimpin transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besaran pada sistem organisasi. Pembongkaran sistem inilah yang benar-benar menbedakan pemimpin transformasional dengan transaksional.”
Tranformasional diasosiasikan dengan inspirasi dan visi, kerjasama dan partipasi yang enerjik, rekanan dan transformasi perasaan sikap dan kepercayaan pengikut. Dengan penekanan pada pemeliharaan hubungan, kesatuan nilai dan tujuan dan pengembangan budaya institusional (Sechin, 1985). Bass & Avolio (1994) menyimpulkan karakteristik kepemimpinan transforamasional dalam hal, sebagai berikut;
• pengaruh ideal (pemimpin sebagai penentuan)
• Motivasi Inspirasional .
• Rangsangan Intelectual.
• Pertimbangan Individual (pemimpin sebagai pelatih dan mentor)
Penerimaan poin kebijaksanaan ditunjukkan untuk menimbulkan kepemimpinanan transformasional. Berdasarkan kepemimpinan transformasional sebagai model yang umum, tingkah laku global pemimpin telah dikemukakan dan dikaitkan dengan hasil positif. Bagaimanapun, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu:
• Kepemimpinan tranformasional (bertentangan dengan konotasi etis yang dipertimbangan oleh Burns) telah menjadi alat manipulasi manajerial, ketimbang sarana untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya dan memberi semangat kepada yang lain (Allix, 2000);
• Konstuksi dari teori yang sangat abstrak sangat sulit untuk diperjelas melalui penelitian empiris
2.2.4 Lingkup Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan
Teori kepemimpinan transformasional sebenarnya lebih dari pada model pendekatan dimana situasi perubahan bagian dari momentum transisi demokrasi, meskipun tidak semuanya sama secara teori dalam setiap situasi politik, akan tetapi bagian dari salah satu pendekatan diman situasi transisi yang yang membuka ruang publik terlibat di dalamnya. Gagasan awal model kepemimpinan ini dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya dikembangkan penerapannya ke dalam konteks organisasional oleh Benard Bass. Kepemimpinan model ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses prtukaran (exchange process) diman para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.
Oleh karena itu, model kepemimpinan transformasional justru adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Model kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarah organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah ada sebelumnya. Para pemain secara rill harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah yang baru. Dengan demikian model kepemimpinan transfomasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan model ini membutuhkan tindakan lain memetovasi para bawhan agar bersedia kerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya saat itu.
Dengan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi, seorang pemimpin bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara memperaktekkan perilaku yang sesuai dengan setiap tahapan transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Secara demikian, acuan dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai rujukan dimensi perilaku kepemimpinan yang menghasilkan keputusan dan kebijakan terhadap bawahannya, yang merupkan cermin dari unsur-unsur kharisma, kepekaan terhadap keunikan ndividu, dan oreantasi stimulasi intelektual.
Pola kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi dalam kegiatan sehari-hari dapat diimplementasikan melalui perilaku yang mencerminkan sikap-sikap dari tiga unsur yakni charisma, kepekaan individu, dan stimulasi intelektual. Kegagalan pemimpin kita karena kurangnya kepekaan dalam merespon. Hal-hal yang kecil dalam masyarakat, bukan hanya presiden yang harus menggunakan pendekatan transformasi kepemimpinan akan tetapi juga kabinetnya, juga harus lebih peka terhadap setiap bagian kehidupan rakyat. Kalau presiden mampu membaca dan melakukan hal-hal yang tepat, persoalan yang membebankan rakyat dapat lebih berkurang dan rakyat mudah mengangkat sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan. Berdasarkan hasil kajian literature yang dilakukan, Nortthouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menmpilkan kepemimpinnan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin lembaga pendidikan dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di lembaga pendidikannya. karena kepemimpinan tranformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin tranformasinal yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sungguh-sungguh yang bersangkutan, Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
1. Berdayakan seluruh bawahannya untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
2.3 Pengambilan Keputusan
Para pengambil keputusan hampir selalu membuat keputusan, bahkan setiap detik dari hidupnya. Ketika mereka mengambil keputusan, ada satu proses yang terjadi pada otak manusia yang akan menentukan kualitas keputusan yang dibuat (Permadi 1992). Ketika keputusan yang akan dibuat sederhana, seperti memilih warna baju, manusia dapat dengan mudah membuat keputusan. Namun ketika keputusan yang akan diambil bersifat kompleks dengan resiko yang besar seperti perumusan kebijakan, pengambilan keputusan sering memerlukan alat bantu dalam bentuk analisis yang bersifat ilmiah, logis dan terstruktur/konsisten. Salah satu alat analisis tersebut adalah berupa decision making model (model pembuatan keputusan) yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan untuk masalah yang bersifat kompleks. Faktor alam, politik, budaya, sosial ekonomi, religi sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena bersifat eksternal. Tidak jarang pengambilan keputusan dipengauhi dan ditekan oleh beberapa faktor tadi. Ambil kasus, misalnya kebijakan UU pornograpfi yang dipengaruhi oleh faktor religi atau kebijakan SKB 4 menteri tentang upah buruh yang dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, dan ekonomi. Beberapa kebijakan yang diambil merupakan hasil perumusan masalah dan pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah disebutkan diatas.
Manusia merupakan bagian dari alam, yang hidupnya tidak lepas dari alam. Bila pada proses kehidupan manusia sejak diciptakan merupakan unsur yang semakin lama semakin mendominasi atas unsur-unsur lainnya dari alam, maka hal itu tidak lain karena manusia dibekali dengan kemampuan-kemampuan untuk bisa berkembang demikian. Segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya dirasakannya dan diamatinya dengan menggunakan semua indera yang dimilkinya, dipikirkannya, lalu ia bertindak. Dalam menghadapi segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya, hampir setiap saat manusia membuat atau mengambil keputusan dan melaksanakan, ini tentu dilandasi asumsi bahwa segala tindakannya secara sadar merupakan pencerminan hasil proses pengambilan keputusan dalam pikirannya; sehingga sebenarnya manusia sudah sangat terbiasa dalam mebuat keputusan. Proses sejak identifikasi masalah sampai pemilihan solusi terbaik inilah yang disebut pengambilan keputusan (Putro dan Tjakraatmadja, 1998). Jika keputusan yang diambil tersebut perlu dipertanggungjawabkan kepada orang lain atau prosesnya memerlukan pihak lain, maka perlu untuk diungkapkan sasaran yang akan dicapai berikut kronologi proses kengambilan keputusannya (Mangkusubroto dan Tresandi, 1987). Proses pengambilan keputusan di dalam kehidupan organisasi adalah suatu proses yang selalu terjadi, dimana hal ini merupakan denyut nadi jalannya organisasi tersebut (Sudirman, 1998).
Dari beberapa definisi pengambilan keputusan yang ditemukan, dapat dirangkum bahwa pengambilan keputusan dalam suatu organisasi merupakan hasil suatu proses komunikasi dan partisipasi yang terus menerus dari keseluruhan organisasi. Hasil keputusan tersebut dapat merupakan pernyataan yang disetujui antar alternatif atau antar prosedur untuk mencapai tujuan tertentu. Pendekatannya dapat dilakukan, baik melalui pendekatan yang bersifat individual atau kelompok, sentralisasi atau desentralisasi, partsipasi/tidak berpartisipasi, maupun demokratis atau kosensus (Suryadi dan Ramdhani, 1998). Persoalan pengambilan keputusan, pada dasarrnya adalah bentuk pemilihan dari beberapa alternatif tindakan yang mungkin dipilih, yang prosesnya melalui mekanisme tertentu, dengan harapan akan menghasilkan sebuah keputusan yang terbaik. Penyusunan model keputusan adalah suatu cara untuk mengembangkan hubungan-hubungan logis yang mendasari persoalan keputusan ke dalam suatu model matematis, yang mencerminkan hubungan yang terjadi diantara faktor-faktor yang terlibat
2.4 Kualitas Pendidikan
2.4.1 Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN. 2003, pasal 1, ayat 1). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan berupaya menyiapkan peserta didik agar memiliki kompetensi-kempetensi yang bermanfaat bagi kehidupan melalui penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran. Kompetensi-kompetensi yang ingin diwujudkan melalui pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, tingkat persaingan antar individu dan antar bangsa menjadikan kompetensi sumber daya manusia menjadi faktor yang semakin menentukan dalam situasi kehidupan masyarakat global dewasa ini. Pendidikan merupakan usaha memberikan pelayanan bagi setiap warganya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan investasi karena penyelenggaraanya memerlukan dana yang tidak sedikit oleh karena itu lembaga penyelenggara pendidikan harus memikirkan efisiensi dan efektivitas dalam pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan menjadi suatu yang sangat diperlukan agar out put dari suatu proses pendidikan dapat benar-benar mampu menghadapi kehidupan nyata di masyarakat. Dalam hubungan ini, lembaga pendidikan sekolah dituntut untuk mampu memelihara dan meningkatkan proses pendidikan secara efektif dan efisien serta dapat terus memperbaiki kualitas lulusannya agar mampu berperan dalam membangun masyarakat.
2.4.2 Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan
Dengan mengingat pentingnya bagi kehidupan masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya untuk menyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis sehingga proses yang terjadi di dalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, dalam hubungan ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting, karena dilembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan berbagai keterampilan agar lebih mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Kedudukan sekolah yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan masyarakat yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan masyarakat, adapun fungsi-fungsi sekolah adalah (Morris. et al. 1962 : 113) :
o School give opporatunity for self-development and social mobility
o School develop the individual’s competence as a worker, citizen, and parent
o School contribute to the economic growth of a society
o School help to solve pressing social problem
Fungsi-fungsi tersebut, sebagai pemikiran yang diungkap lebih dari empat puluh tahun lalu, nampaknya perlu diperluas mengingat perkembangan jaman yang sangat cepat serta kompleksiatas masalah.
Sekolah dewasa ini perlu terus memikirkan posisinya kembali dalam masyarakat, perubahan yang terjadi juga telah menyebabkan tuntutan akan pendidikan terus meningkat, mendidik anak/siswa di sekolah bukan suatu fase yang terputus, tapi harus merupakan kontribusi dinamis bagi perkembangan menjadi manusia pembelajar. Sekolah tidak hanya mengajari anak dengan menambah penguasaan materi pelajaran saja, tapi juga perlu membina mereka menjadi pemikir yang dalam dan mampu menganalisa serta menerapkan pengetahuannya dalam memecahkan masalah-masalah nyata kehidupan, disamping itu kemampuan siswa bekerja secara kolaboratif, perlu terus dikembangkan, mengingat sekarang telah mengarah pada makin perlunya networking dalam kehidupan masyarakat, semua ini akibat dari globalisasi.
2.4.3 Sekolah Sebagai Suatu Sistem Sosial
Sebagai suatu sistem, sekolah terdiri dari bagian-bagian yang berinteraksi dan bersinergi dalam menjalankan peran dan fungsinya guna mencapai tujun-tujan pendidikan, sehingga dapat meningkatkan efektifitas pencapaiannya, menurut Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel, (2001:23) unsur-unsur kunci dari suatu sistem sosial sekolah sebagai oragnisasi formal dalah struktur, individu, budaya, dan politik. Sebagai suatu sistem sosial organisasi sekolah merupakan organisasi yang berfungsi melakukan transformasi input menjadi output. Dalam proses tersebut terdapat faktor yang saling berpengaruh yaitu faktor struktur, faktor individu, faktor politik, serta faktor budaya. Dengan demikian dalam melihat suatu organisasi sekolah telah nampaknya diperlukan cara berpikir sistemik mengingat masin-masing subsistem di dalamnya mempunyai pengaruh pada proses transformasi yang terjadi, dan proses ini akan menentukan kualitas output yang dihasilkan sekolah.
2.4.4 Kualitas Pendidikan
L.C. Solmon dalam tulisan yang berjudul The Quality Of Education (Psacharopaulos, 1987 : 253) menyatakan bahwa untuk memahami kualitas pendidikan dari sudut pandang ekonomi diperlukan pertimbangan tentang bagaimana kulitas itu diukur. Dalam hubungan ini terdapat beberapa sudut pandang dalam mengukur kualitas pendidikan yaitu:
Pandangan yang menggunakan pengukuran pada hasil pendidikan (sekolah atau College)
Pandangan yang melihat pada proses pendidikan
Pendekatan teori ekonomi yang menekankan pada akibat positif pada siswa atau pada penerima manfaat pendidikan lainnya yang diberikan oleh institusi dan atau program pendidikan
Sudut pandang tersebut diatas, masing-masing punya kelemahannya sendiri-sendiri, namun demikian pengukuran di atas tetap perlu dalam melihat masalah kualitas pendidikan, yang jelas diakui bahwa masalah peningkatan kualitas pendidikan bukanlah hal yang mudah sebagaimana diungkapkan oleh Stanley J. Spanbauer (1992:49) “Quality improvement in education should not be viewed as a “quick fix process”. It is a long term effort which require organizational change and restructuring”. Ini berarti bahwa banyak aspek yang berkaitan dengan kualitas pendidikan, dan suatu pandangan komprehensif mengenai kualitas pendidikan merupakan hal yang penting dalam memetakan kondisi pendidikan secara utuh, meskipun dalam tataran praktis, titik tekan dalam melihat kualitas berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuan suatu kajian atau tinjauan. Kualitas pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, dia merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, jika suatu proses pendidikan berjalan baik, efektif dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan mempunyai kontinum dari rendah ke tinggi berkedudukan sebagai suatu variabel,dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, variabel kualitas pendidikan dapat dipandang sebagai variabel bebeas yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran, kecukupan fasilitas belajar dan sebagainya. Edward Salis (2006 : 30-31) menyatakan: “ada banyak sumber mutu dalam pendidikan, misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai moral yang tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang tua, bisnis dan komunitas lokal, sumber daya yang melimpah, aplikasi telnologi yang mutakhir, kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap pelajara anak didik, kurikulum yang memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut“. Pernyataan ini menunjukan banyakna sumber mutu dalam bidang pendidikan, sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk dari suatu kulitas pendidikaan, atau faktor yang mempengaruhi kulitas pendidikan.
Dalam hubungan dengan faktor berpengaruh pada kulitas pendidikan, hasil studi Heyman dan Loxley tahun 1989 (Mintarsih Danumihardja 2004 : 60) menyatakan bahwa faktor guru, waktu belajar, menajemen sekolah, sarana fisik dan pendidikan memberikan kontribusi yang berarti terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan dana untuk penyelenggaraan proses pendidilkan di sekolah menjadi salah satu faktor penting untuk dapat memenuhi kulitas dan prestasi belajar, dimana kulitas dan prestasi belajar pada dasarnya menggambarkan kulitas pendidikan.
Sementara itu Nanang Fatah (2000 : 90) mengemukakan upaya peningkatan mutu dan perluasan pendidikan membutuhkan sekurang-kurangnya tiga faktor utama yaitu; (1) Kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam arti kulitas tenaga kependidikan, biaya dan sarana belajar; (2) proses belajar mengajar yang mendorong siswa belajar efektif; dan (3) mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap keterampilan, dan nilai-nilai. Jadi kecukupan sumber, mutu proses belajar mengajar, dan mutu keluaran akan dapat terpenuhi jika dukungan biaya yang dibutuhkan dan professional kependidikan dapat disediakan di sekolah.
Dalam bidang kependidikan, yang termasuk input dalam konteks pengukuran kualitas hasil pendidikan adalah siswa dengan seluruh karakteristik personal serta biaya yang harus dikorbakan untuk memperoleh pendidikan/mengikuti sekolah, dan komponen yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah sebagai suatu institusi adalah guru dan SDM lainnya, kurikulum dan bahan ajar, metode pembelajaran, sarana pendidikan, sistem administrasi, sementara yang masuk dalam komponen output adalah hasil proses pembelajaran yang dapat menggambarkan kulitas pendidikan.
2.5 Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan
2.5.1 Standar Kompetensi Pendidkan
Di dalam PP 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa pendidikan di Indonesia menggunakan delapan standar yang menjadi acuan dalam membangun dan meningkatkan kulitas pendidikan, Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada delapan standar yang menjadi kriteria minimal tersebut yaitu:
1. Standar isi
2. Standar Proses
3. Standar Kompetensi lulusan
4. Standar pendidiikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana
6. Standar pengelolaan
7. Standar pembiayaan
8. Standar Penilaian Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta perdaban bangsa dan bermartabat (PP 19/25 Pasal 4)
Standar isi berkaitan dengan kurikulum yang akan diajarkan pada siswa, dalam hubungan ini kurikulum yang dipakai untuk dilaksanakan dilingkungan pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan kepmen No 22 tahun 2006 adalah KTSP yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Untuk lulusan telah diterbitkan Kepmen no. 23 tahun 2006 yang berisi tentang Standar Kompetensi Lulusan, dengan adanya standar ini, maka segala aktivitas dan proses pendidikan yang terjadi di sekolah harus mengacu pada standar kompetensi lulusan tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan guru sehagai pendidik telah hadir Undang-Undang No. 14 tahun 2005, yang pada dasarnya menggambarkan standar tenaga pendidik. Dalam PP No 19 tahun 2005 pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu kompetensi yang harus dimiliki pendidik (Guru) adalah a) Kompetensi Pedagogik; b) kompetensi kepribadian; c) kompetensi professional, dan d) kompetensi sosial (PP No 19 tahun 2005 pasal 28 ayat 3).
Untuk lebih memahami makna masing-masing kompetensi tersebut, berikut akan dijelaskan sesuai dengan penjelasan yang tercantum dalam PP No. 19 tahun 2005 serta UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005.
o Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi :
o Pemahaman terhadap peserta didik
o Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran
o Evaluasi hasil belajar
o Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
o Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bewibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
o Kompetensi professional
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan BSNP.
o Kompetensi sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik/guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
2.5.2 Sertifikasi Mutu Pendidikan
Sertifikasi merupakan proses pemberian sertifikat. Ini berarti bahwa sertifikasi di dasarkan pada suatu kriteria atau standar tertentu yang telah ditetapkan. Dengan demikian sertifikasi mutu pendidikan bermakna proses pemberian sertifikat berkaitan dengan kualitas pendidikan. Dalam bidang mutu secara umum, terdapat lembaga yang memberikan sertifikasi seperti ISO, dimana bidang pendidikanpun dapat memperolehnya sesudah melalui proses tertentu. Sementara itu dalam konteks Indonesia Badan Akreditasi dapat dipandang sebagai lembaga yang melakukan sertifikasi, dalam arti memberikan peringkat pada lembaga pendidikan bekaitan dengan penyelenggaraan pendidikan apakah dapat memenuhi standar yang telah ditentukan atau belum. Secara teoritis diakui bahwa kualitas pendidikan sebagai suatu profesi dengan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan yang telah ditentukan, dalam hubungan ini sertifikasi pendidik menjadi salah satu cara untuk melihat keprofesionalan tenaga pendidik.
Berkaitan dengan tenaga pendidik, sertifikasi menjadi dasar dalam menentukan keprofesionalan Guru/Dosen. Mereka harus punya sertifikat pendidik sebagai bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Menurut UU No 14 tahun 2005 pasal 11 disebutkan sebagai berikut :
1) Sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang tekah memenuhi persyaratan.
2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetepkan oleh pemerintah.
3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagai mana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
2.5.3 Sosialisasi Manajemen Mutu dan Penjaminan Mutu
Masalah mutu dalam era sekarang ini merupakan masalah berkaitan dengan hidup dan matinya suatu organisasi terutama organisasi bisnis, oleh karena itu tidaklah berlebihan jika Rene T Domingo menulis buku berjudul Quality Means Survival (1997), artinya kualitas bermakna kehidupan. Untuk itu upaya untuk menjadikan organisasi bertahan, masalah kualitas harus menjadi perhatian, dan oleh karenanya makna penjaminan kualitas menjadi satu keharusan untuk diterapkan dalam suatu organisasi dalam kerangka Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Mangjement). Oleh karena itu dalam dunia pendidikan pun masalah kualitas harus menjadi konsern bersama, mengingat masih diperlukan upaya yang serius guna meningkatkan kualitas pendidikan serta persaingan global dalam bidang pendidikan yang menunjukkan kecenderumgan makin meningkatkan baik level nasional maupun level global, ini terlihat makin banyaknya promosi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dari Negara lain.
Namun demikian dalam kenyataan, perhatian dunia pendidikan akan kualitas merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan dunia bisnis, oleh karena itu kualitas dan penjaminan kualitas dapat dipandang sebagai inovasi dalam pendidikan. Dalam hubungan ini sosialisasi menjadi hal yang penting dalam mendukung keberhasilan implementasi penjaminan kualitas manajemen kualitas pendidikan. Untuk itu dalam melakukan sosialisasi dapat dilakukan melalui pendekatan difusi inovasi.
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
3.1 Pembahasan
Human Investmen menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasikan literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadiah Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago. Amaerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikkannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orng yang memiliki pendidikan lebih tinggi semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi. Konsep investasi sumber daya manusia dapat dilihat dari tiga butir penting, yaitu education for all, education for self-help dan retrun on investment (ROI).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan mempunyai efek ganda dalam kehidupan manusia. Segala aspek yang ada dalam kehidupan manusia harus berpedoman pada pendidikan jika menginginkan kehidupan yang layak. Manusia mencari banyak cara untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Konsep dasar manusia di segala jaman adalah pencarian hidup perkembangan dalam menghasilkan prinsip, jawaban, proses prosedur, atau cara memperoleh tujuan dalam hidup.
Proses pelaksanaan pendidikan dan latihan merupakan sarana untuk meningkatkan kemampuan manusia terhadap produktivitas yang lebih baik merupakan jaminan mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Sebab produktivitas kerja yang lebih baik akan terwujud melalui pendidikan dan latihan. Bentuk pendidikan melalui sekolah merupakan bentuk human investmen yang lebih komprehensif. Artinya, manusia terdidik akan memilikin multifungsi dan kemauan lebih dalam menghadapi perubahan dunia yang semakin cepat. Andai seluruh manusia dalam sebuah bangsa memiliki, maka otomatis bangsa tersebut akan maju dan menjadi yang terdepan.
Pemerintahan pada saat ini belum berhasil merumuskan model pendidikan seperti apakah yang sesuai di Indonesia. Pendidikan di Indonesia saat ini semakin jauh dari cita-cita founding Father yang termaktub dalam mukadimah UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah ke depan, agar pendekatan sumber daya mnusia di bidang pendidikan dapat terlaksana dengan lancar. Dari data survei sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Stasistik (BPS) 2003 ditemukan, seorang pekerja lulusan perguruan tinggi memiliki pendapatan tiga kali lipat dibanding lulusan SD. Sementara itu biaya bagi seorang mahasiswa mencapai 11 kali dibanding biaya yang dikeluarkan seorang siswa SD. Hal ini berarti pemerataan pendidikan dan pembiayaan pendidikan di Negara kita masih jauh dari harapan konsep, Human Investment yang mengedepankan kemampuan manusia dalam memajukan bamgsa dengan media pendidikan.
Fenomena yang tak kalah menarik di dalam masyarakat adalah mengenai pemerataan pendidikan. Secara kuantitatif, fenomena ini kerap diartikan sebagai kunci kesuksesan pembangunan ekonomi. Kecendrungan lain yang muncul di Negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, antara lain pendidikan lebih dinilai sebagai status sosial ketimbang produktivitas. Masyarakat, termasuk pasar tenaga kerja, cenderung mengharapkan ijazah pendidikan lebih tinggi tanpa memperhatikan kualitas pendidikan. Permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia sebetulnya sudah mendarah daging. Akan tetapi hal ini dapat dikaji dengan melihat faktor-faktor masalahnya terlebih dahulu. Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelengaraan sistem pendidikan, Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelengaraan pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, dan sebagainya. Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, system pendidikan di Indonesia juga menglami masalah-masalah cabang, antara lain: Rendahnya sarana fisik, Rendahnya kulitas guru, Rendahnya kesejahteraan guru, Rendahnya prestasi siswa, Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan dengan kebutuhan, Mahalnya biaya pendidikan.
Kepemimpinan tetap selalu menjadi isu sentral di berbagai jenis organisasi baik di organisasi bisnis, perusahaan, ataupun lembaga pendidikan. Interaksi antar manusia dalam dunia pendidikan merupakan kunci utama yang harus di pegang seorang pemimpin lembaga pendidikan. Kenapa demikian?, karena salah satu tugas utama seorang pemimpin pendidikan beroreantasi pada manusia yang seimbang dengan pencapaian visi dan misi lembaga pendidikannya. Yaitu: [1] menetapkan dan mengupayakan tercapainya tujuan pendidikan atau disebut task oriented, dan [2] memperhatikan orang-orang yang dipimpinnya atau human oriented.
Konsep kepemimpinan masa depan masyarakat modern haruslah yang memilki ciri-ciri kepemimpinan modern, yakni memiliki semangat, nilai–nilai, dan pikiran-pikiran modern. Kita tidak boleh lupa pula bahwa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak diantaranya yang releven sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah satu konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Barta, atau delapan ajaran keutamaan, seperti ditunjukkan oleh sifat-sifat alam. Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tolodo , ing madyo mangunkarso, dan tut wuri handayani. Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengndung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku disegala jaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu niali bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinan-nya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Dominasi era global telah membuat para penyelengaraan pendidikan terjebak dalam perasaan ketidakpastian dengan sistem saat ini. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuaan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, melampaui kesiapan lembaga-lembaga pendidikan dalam mendesign kurikulum, metode dan sarana yang dimiliki guna menghasilkan lulusan-lulusannya memasuki sebuah era yang ditandai dengan tingkat kompetensi dan perubahan yang begitu massif dan cepat.
Saat ini, persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan bukan sekedar relevansi antar content yang diberikan kepada peserta didik dengan kebutuhan dunia kerja supaya lulusannya siap memasuki dunia kerja, akan tetapi lebih mengarah pada apa yang harus dicermati oleh dunia pendidikan terhadap relevansi dimensi pedagogies-didaktif (antara lain: teknik pengajaran, kurikulum, metode, tempat pembelajaran dan lainnya) dengan trend budaya global. Sehingga lembaga pendidikan harus mampu menyelesaikan perubahan ”Globalisasi yang diterjemahkan melalui definisi “globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau”mensejagat” sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan apanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia baik berupa ide, gagasan, data, informasi, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia, hal ini biasanya banyak terjdi di lingkungan pendidikan dan berpeluang mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan buday”..
Globalisasi perlu dicermati dengan memperhatikan akibat terjadinya perubahan yang terus menerus dan semakin cepat. Fenomena perubahan yang kian berakselerasi memberi imperative berbagai lembaga pendidikan yang ada untuk terus melkukan self reform jika ingin tetap mempertahankan eksitensinya di jaman yang berat seperti sekarang. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa jika reformasi dilakukan secara serampangan, sekedar reaktif dan tidak visioner, justru akan menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan dimasa mendatang.
Dunia pendidikan bukannya tidak memahami persoalan tersebut. Negara, sebagai pihak yang mengemban amanat penyelenggara pendidikan terus melakukan upaya-upaya penyempurnaan yang dibuat cenderung bersifat reaksioner serta kurang disadari visi yang jelas. Dalam literatur-literatur kepemimpinan, setiap penerang maupun para kulitinta umumnya mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai sutau proses “membujuk” orang-orang lain menuju sasaranan bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen, yakni:
1. Kepemimpinan merupakan sutu konsep relasi (relation concept). Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gradner menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin
3. Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, retruktursasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya
Sebagai kesimpulan akhir konsep kepemimpinan dalam pendidikan selain memanfaatkan pada konsep kepemimpinan visioner dan tranrsformasional juga diperlukan menajemen partisipatif dari semua elemen organisasi dengan berorientasi pada tugas pokok pendidkan dan tugas pokok pengelolaan pelembagaan. Pentingnya berorientasi pada manusia, tidak lepas dari mekanisme manajemaen partisipatif dimana “anak buah” diajak untuk berpatisipasi dalam pencapaian tujuan lembaga pendidikan. Karena baginya, “keuntungannya manajemen partsipatif adalah motivasi dan moral kerja diperbaiki, rasa memiliki dan tanggung jawab ditingkatkan, melancarkan komunikasi timbala balik, keputusan yang diambil memiliki tingkat akseptibilitas yang tinggi, dan pelaksanaan keputusan biasanya lebih lancar“.
Disamping seorang pemimpin pendidikan, sebuah lembaga pendidikan hendaknya juga mempunyai seorang manajer lembaga pendidikan. Berbeda dengan pemimpin pendidikan, seorang manajer pendidikan lebih terfokus pada pengaturan mekanisme bergulirnya sebuah lembaga pendidikan. Mulai dari mengurusi bagian administrasi, keuangan, personalia, bagian umum, hingga masalah kehumasan. “Sebagai seorang pemimpin, kita diharapkan membawa visi, misi, filosofi dan nilai-nilai agar bisa dicapai. Pemimpin pendidikan lebih berperan untuk memberi inspirasi, dukungan, pemahaman, kepercayaan, keteladanaan, dan pengaruh. Sedangkan manajer membawa lembaga pendidikan supaya menjadi wealth creating instititution. Manajer pendidikan lebih berurusan dengan bagaimana menyelenggarakan lembaga secara efektif dan efisien,“ ungkapnya. Meski demikian, ia juga mengakui bahwa pemimpin dan manajer lembaga pendidikan dapat dipegang oleh satu orang
Perananan kepemimpinan tersebut dapat digambarkan dengan mempertimbangkan keseluruhan elemen organisasai yang digerakkan oleh kepemimipinan yang dimiliki oleh pimpinanan tersebut untuk mencapai keunggulan organisasi dalam bersaing dalam melayani keinginan pemakai jasa pelayanan pendidikan.
3.2 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kepemimpinan adalah suatu konsep yang sangat dekat denagan kesuksesan dalam mencapai tujuan suatu organisasi. Kepemimpinan akan sangat mewarnai, mempengaruhi bahkan menentukan bagaiman perjalanan suatu organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Agar pemimpin dapat memotivasi anak buah dengan lebih muda, diperlukan kemampuan menunjukan “makna” pekerjaan yang akan dilkukan dan menunjukan “keuntungan” yang akan diraih.
2. Lembaga pendidikan adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena lembaga pendidikan sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang bersifat unik karena lemabaga pendidikan memiliki karakter tersendiri, dimana proses terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yang kompleks dan unik tersebut, lembaga pendidikan sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. “Keberhasilan lembaga pendidikan adalah keberhasilan pemimpin lembaga pendidikan.” Secara sederhana pemimpin lembaga pendidikan dapat didefenisikan sebagai seorang tenaga fungsional tenaga pendidikan dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadinya interaksi antara tenaga kependidikan yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Pemimpin lembaga pendidikan dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para peserta didik.
3. Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan tranformasional ternyata dapat lebih menunjukan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin lembaga pendidikanmya. Karena kepemimpinan tranformasional merupakan sebuah rentangan yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan. Maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin sadar dan sungguh-sungguh dari yang bersangkutan. Nothouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transfrmasional, yakni sebagai berikut:
Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
Dengarkanlah semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh sebagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
4. Strategi yang dikembangkan untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan anatara lain adalah standar Kompeyensi Pendidikan, Sertifikasi Mutu Pendidikan, Sosialisasi, Manajemen Mutu Dan Penjaminan Mutu.
5. Pengaruh-pengaruh kelompok dalam pengambilan keputusan transformasional visioner datang dari kompenen itu sendiri, yaitu;
a) Tujuan interdisipliner
b) Analisa Lingkungan
c) Sistem Proses
d) Informasi
e) Memperhitungkan faktor-faktor ketidaksamaan
f) Diarahkan pada tindakan nyata
6. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin terhadap pendidikan di Indonesia saat ini belumlah memenuhi kesejahteraan publik. Parahnya lagi kebijakan tersebut tidak berpijak pada visi ke depan. Alhasil, kebijakan yang ada hanyalah sebatas ketentuan biasa yang instan. Contohnya, setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, maka kurikulum pun diubah.
DAFTAR PUSTAKA
Adair, J. (1983) Effective Leadership, London: Pan
Allix, N. (2000) ‘Tranformational Leadership: democratic or despotic?’, Educational
Management & Administration, 28 (1), hal. 7-20.
Bass, B.M & Avolio, B.J (1994) Improving Organizational Effectivess through Transformational Leadership, Thousand Oaks, CA: Sage.
Gibson, J. L. 1979. Organization, Behavior, Structures, Process. Business Publishing Company, Dallas.
Hasbullah. (1999). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Heyting, m. (19880. ‘Leadership in professionally stafed organization, in Glatter, R. et al (eds.) Understanding School Management, Milton Keynes: Open University Press.
Janis, LL. Dan Mann, l. (1977). Decision Making. New York; McMillan Publishing.
Law, S. & Glover, D. (2001) Education Leadership and Learning, Buckingnam: Open University Press.
Natawidjaja, R, Sukmadinata, N. S. Ibrahim, R. dan Djohar, A. (2007). Rujukan Filsafat, Teori, dan Praktis Ilmu Pendidikan. Bandung: Univertas Pendidikan Indonesia Press.
Saaty, T. L. dan Vergas, L. G. (1994). Decision Making In Economic, Poltical, Social, and Technological Environment with the Analytic Hierarchi Process. Pittsburgh: RWS Publications.
Schein, E, (1985). Organizational Culture and Leaderdhip. San Francisco: Jossry-Bass.
Siagian, Sondang P. (2008). Pengantar Fisafat Pendidikan. Bandung; Percikan Ilmu.
Stogdill, R. M. (1974). Hanbook of Leadership, New York: The Free Press.
Tannembaum, R. 1961. Leadership and Organization. New York: McGraw-Hill.
Vroom, V. H. dan A. G. Jago. 1988. The New Leadership. Managing Participation in Orgaization. New Jersey: Prentice Hall, Englewood.
Yeoh, Michael. (1995). Vision Leadership: Values and Dtrategis Towards Vision 2020. Selangor: Pelanduk Publication.
Yukl, G. (2001) Leadership in Organisation, Englewood Cliffs: Prentince-Hall.
Rabu, Juli 28, 2010
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Label: leadership, type transpormasional
Diposting oleh Izoers Suryana di 22.16 1 komentar
Kamis, Juli 01, 2010
WORDPRESS OFFLINE
Bagi anda yang menekuni blog di wordpress, inilah beberapa aplikasi yang perlu anda miliki. Silahkan klik link berikut :
Wordpress Offline
Custom Domain
Label: wordpress
Diposting oleh Izoers Suryana di 02.47 0 komentar
Minggu, Juni 27, 2010
MATERI PENGAYAAN UN SMP 2010
Sebagai referensi dan file berikut ini contoh-contoh soal try out Ujian Nasional SMP Tahun 2010. Selengkapnya dapat mendownloadnya dengan mengklik link berikut ini :
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
IPA
Matematika
Label: Soal try out, UN 2010
Diposting oleh Izoers Suryana di 04.06 0 komentar
Wallpaper Pilihan
Para pembaca yang budiman, seni (art) merupakan sesuatu yang dapat menyejukan mata batin kita. Hiasilah tampilan blog anda dengan ornamen-ornamen seni yang mempesona. Ada beragam ornamen seni yang dapat diterapkan dalam blog kita salah satunya background yang dapat digunakan di header blog atau dapat juga digunakan sebagai tampilan wallpaper dalam animasi-animasi tertentu. Background-background tersebut dapat anda variasikan kembali dengan menggunakan adobe photoshop atau coreldraw. Bagi anda yang memerlukan variasi tampilan background untuk mendownloadnya silahkan klik link berikut ini :
Wallpaper Pilihan Selanjutnya...
Label: wallpaper
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.48 0 komentar
Minggu, Juni 20, 2010
Sabtu, Juni 19, 2010
CIRI-CIRI WANITA AHLI SURGA
Berikut ciri-ciri wanita ahli surga yang diambil dari berbagai sumber, boleh ditambah lagi asal relevan dengan tuntutan Syariat Agama Islam :
- Ridho dengan suami yang telah dijodohkan oleh Allah SWT.
- Menjadi istri yang setia kepada suami saat suami senang dan susah.
- Selalu memohon ma'af dari suami
- Senantiasa taat perintah suami selagi tidak bertentangan dengan syariat
- Senantiasa selalu mendahulukan suami dalam berbagai hal dan keadaan
- Senantiasa menghibur hati suami terutama apabila dalam kesusahan atau kerisauan
- Melembutkan pandangan serta tunduk di hadapan suaminya
- Tidak pernah menolak ajakan suami ketika ia memerlukannya
- Tidak khianat terhadap harta suami, pakaiannya, serta tempat tidurnya atau sebagainya ketika suami tidak ada
- Senantiasa menghormati ibu bapaknya serta keluarga suaminya
- Tidak meminta sesuatu yang berlebihan hingga di luar kemampuan suami
- Tidak sekali-kali menunjukkan muka masam dan berlaku kasar terhadap suami
- Menyambut kedatangan suami dengan senyuman, disambut dan dicium tangannya
- Tidak keluar rumah tanpa izin suami
- Berwangi-wangian ketika suami ada di rumah
- Tidak berpuasa sunah ketika suami berada di rumah tanpa izinnya.
Diposting oleh Izoers Suryana di 01.35 1 komentar
Jumat, Juni 18, 2010
PASOSORE NU LAYUNGAN
Poe ngagayuh ka sore
Tonggeret mimiti reang disada
Beulah kulon, handapeun tangkal awi
Aya nu nyarande kawas nu lungse
Karunya teuing.....
Geningan anu nyarande teh hiji wanoja
Nginghak ceurik bareu'eus tur ramisak
Kunaon geulis....? Nuju tatu manah...?
Asstagfirullloh.........
Kaca'angan ku sinar layung
Gening eta wanoja teh lain awewe samanea
Tapi nu nu gelo kagegeloan ku internet.... (Emh...karunya teuing...alaiyeuh...)
Diposting oleh Izoers Suryana di 03.14 0 komentar
Sabtu, Juni 12, 2010
RUBRIK PENILAIAN PORTOFOLIO 2010
Berapa Nilai Portofolio anda? Silahkan klik tautan berikut ini :
PENILAIAN PORTOFOLIO
Label: portofolio
Diposting oleh Izoers Suryana di 18.46 0 komentar
MODEL PENILAIAN KELAS
Untuk lebih jauh menelusurinya, klik link berikut ini :
Model PENILAIAN KELAS
Label: model pbm, penilaian kelas
Diposting oleh Izoers Suryana di 18.30 0 komentar
Selasa, Juni 08, 2010
Educational Administration - Power Points for Hoy and Miskel
Educational Administration: Theory, Research, and Practice by Hoy and Miskel (2008) presents a ... Power Points. Chapter 1: The School as a Social System ......Chapter 12 ...
Original Concept - Click This Site :
Diposting oleh Izoers Suryana di 11.16 0 komentar
Secondary School Organisation and the Implementation of Restructuring and Reform
Graham B. Dellar ©
Faculty of Education
Curtin University
Perth, AUSTRALIA
Paper prepared for presentation at the Annual Meeting of the
Australian Association for Research in Education Fremantle,
November 1993.
Background and Rationale
With the number of restructuring and reform endeavours presently
confronting education systems in North America the United
Kingdom, Australia and elsewhere it seems timely to examine the
area of educational change management. Understanding the
dynamics and complexities of implementing reform appears critical
to the success of restructuring and school improvement
endeavours. Since the 1980Õs literature on educational change
has recognised that process of implementing restructuring and
reform is subject to the influence of many factors over a long
period of time. This realisation led researchers to consider not
only the characteristics of the innovation itself but also the
organisational, and contextual explanations of the change
process. In particular researchers such as Huberman (1983) and
Fullan (1985) view implementation as context dependent. These
writers advocate focusing on the school context or ÒmicroÓ
implementation process to understand change. Here implementation
is viewed as influenced by the social or cultural characteristics
of the setting. From this perspective, change involved
alteration to the cultural context, to the beliefs and practices
of its members, and to relationships among people within the
organisation targeted for change. In short, change can be seen
as the creation of a new setting. The adoption of this
perspective suggests that those with the responsibility for
formulating the policies and implementing change at the school
level need to view change as context and setting dependent.
Thus, understanding the nature of the school is critical in
facilitating the type of transformation required for
restructuring and school improvement.
This paper revisits literature on the nature of school
organisations and presents a view of schools, particularly
secondary schools, as complex social systems; that is an
association of people bounded together in mutually interdependent
relationships. This perspective represents a clear shift from
the conception of schools as bureaucratic-rational structures.
Based on this view of schools, research was conducted into three
secondary schools in Western Australian that were about to
implement school-based decision-making and planning procedures as
part of restructuring and reform. It was hoped that this
research would not only provide insights into the dynamics of the
change process but also provided an opportunity to assess the
appropriateness viewing schools as open social systems. Hence
data were sought to assess not only the impact of school
organisational characteristics but also the impacts of these
characteristics on the implementation of school based
management.
This paper is organised around four sections. The first section
presents a brief overview of literature on organisational theory
in order to develop a rationale for the conception of schools as
open social systems. The second section focuses on research
methods employed to assess the possible impact of sub-system
linkage and the ÒopenÓ nature of the social system on the
implementation of school based management. The third section
offers a brief cross-case analysis of the three secondary
schools. To account for implementation actions, specific
attention is given to nature of the school's sub-system linkage
and participants use of information. The fourth and final
section presents some concluding comments and implications for
action.
Theoretical Perspectives: Re conceptualising the Nature of
Schools
Since the end of World War Two, organisational thought has
largely reflected work derived from the behavioural sciences.
The behavioural science approach focuses on work behaviour in
formal organisations. Based largely on work done by Weber (1947)
schools are seen as a formal structure designed to achieve
specific organisational goals. The behaviour of individuals in
the organisation is thus viewed as purposeful, disciplined, and
rational and may be explained in terms of reaction to forces
within the organisation. During the 1970's and 1980's this
rational perspective has remained the dominant model for policy
makers, organisational theorists, and educational administrators.
Viewing organisations as rational systems has led to a
concentration on the adoption of supervisory style by
administrators as the key to effective change. This in turn has
seen the development of rational management models such as
"management by objectives" [MBO], (Kenezevich, 1973) and
"performance evaluation and review techniques" to facilitate
rational decision-making, and enhance efficiency and
effectiveness of the organisation.
As the research on change began to accumulate, particularly
within educational organisations, it became apparent that many
schools did not function as rational systems. According to
Baldridge & Burnham (1975), research during the 1970's indicated
that a school's goals, structures, activities, and outcomes were
not tightly and logically connected with clear lines of
communication, and that people were not rational actors guided by
what is good for the collective welfare of the organisation. In
short, schools were not rational systems. This led to the
adoption of a "natural" social system orientation to the analysis
of organisational behaviour. This orientation suggests the
organisation is made up of a collection of groups that
collaborate to achieve system goals on some occasions, and on
other occasions cooperate to accomplish the goals of their own
groups. Such a notion of flexible cooperation between members of
the school organisation prompted researchers to examine the
internal dynamics of the sub systems of schools.
A closer focus on the nature of educational organisations
resulted in researchers such as March & Olsen (1976), and Weick
(1976) to describe such organisations as "loosely coupled
systems". By this they suggested that the organisation lacked
co-ordination within the various sub-systems that constituted the
organisation. This was especially so with respect to co-
ordination of the pedagogic sub-system, that is the sub-system
concerned with teaching and instructional activities. In
support, Deal and Celotti (1980) argued that due to such loose
coupling, the formal organisation and the administration of the
school do not significantly affect methods of classroom
instruction. That is, teachers in their classrooms function
largely independently from the administration of the school.
Although loose coupling theories are relatively new, more than
twenty years ago Bidwell (1965) analysed structural "looseness"
in school organisations. He noted that in order to deal with the
problem of variability in student abilities on a day-to-day
basis, teachers needed to have freedom to make professional
judgements:
Teachers tend to resist official authority in the instructional
arena and to press for professional discretion. (Bidwell, 1965,
p1014)
Similarly Mintzberg noted:
In the professionally bureaucratic setting relations between
teachers and administrators are ideally shaped by the notion of
professional expertness and excellence and are defined in terms
of structural looseness. (Mintzberg, 1979, p349)
This view of loose coupling between the administration and the
classroom is also supported by writers such as Clear (1970),
Schmuck & Miles (1971), and Dreeben (1973). Indeed, the
autonomy of teachers seems undeniable in schools given the
extensive research evidence that there is limited supervision of
a teacher's classroom activity (Lortie, 1975), and little teacher
accountability for their in-class activities (Cohen, Deal, Meyer,
& Scott, 1976).
The view of educational organisations being composed of loosely
linked parts has provided a focus for an increasing number of
researchers. Research conducted by Meyer & Rowan (1978), and
more recently by Firestone (1985), indicated that the view of
schools as loosely coupled systems is more realistic than the
traditional view of a rational-bureaucratic organisation.
However, while such looseness might well exist, the demand for
uniformity in product (student educational outcomes), and
comparability between schools requires a routinisation of some
school activities. Hoy and Miskel (1987) therefore view schools
as possessing two organisational domains. The first domain is a
bureaucratic one consisting of tightly linked institutional and
managerial functions. The second domain is a loosely linked
professional one concerned with the process of teaching and
learning. Deal & Celotti (1980) suggested that the lack of
linkage between these two domains might explain why the greatest
part of organisationally planned change targeted at teaching and
learning is seldom implemented, and the greatest part of change
in teaching and learning is not organisationally planned.
The view that schools are composed of distinct domains led
writers such as Hoy and Miskel (1987) to propose the existence
of at least three sub-systems within the school. These sub-
systems include a "technical" system concerned with teaching and
learning, a "managerial" system concerned with administration,
co-ordinating work, and an "institutional" system concerned with
connecting the school to its environment. According to Hoy and
Miskel, each sub-system exercises authority over its respective
decision-making arena.
In distinct yet related work Wilson and Dickson Corbett (1983)
focused on the relationships existing between sub-systems of
schools. Using the term "linkages" to refer to the degree to
which such parts of the organisation are able to function
independently, they identified three types of linkage:
1. Cultural linkages refer to the organisational mechanisms
that emphasise the creation or co-ordination of similar behaviour
patters through the development of shared definitions. The
establishment of agreed upon school goals promotes cultural
linkages;
2. Structural linkages refer to the way by which a school
controls member's behaviour. There are two ways:
a) rules and their enforcement, the more rules are
enforced the greater the linkage;
b) limiting the discretion of members over the tasks they
perform. Less individual discretion increased linkage.
3. Interpersonal linkages refer to opportunities for staff to
interact about their work through discussion, and observation of
colleagues performances.
Importantly the focus on both cultural aspects and the structural
linkages does much to recognise and accommodate the competing
notions that schools be viewed as either structures or cultures.
Integrating the work of Hoy and Miskel with Wilson and Dickson
Corbett's notion of domains and linkage resulted in a view of
schools as an organised whole composed of sub-systems and
activities that interact with each other. As a multi-dimensional
social identity, the school also exists within change
environment.s These environments is defined as anything outside
the school that affects the knowledge and actions of members.
Since information and ideas flow between members of the school
and its environments, the boundary between the school and its
environments is not closed. However, in an attempt to maintain
internal stability, the interactions between sub-systems and
environments, control structures and procedures are established
to monitor these environments, control information flow and
promote common sense of purpose e.g. development planning; school
based management. Schools so characterised are stable yet
dynamic, flexible yet with tight and loose relationships among
sub-systems. The open social system characteristics of the
school are represented in Figure 1. Here the sub-systems that
comprise the school are seen as interacting with each other and
elements that comprise the environment.
FIGURE: 1
The School as an Open Social System
Research Approach
Based on the conception of schools as open social systems a three
year study was undertaken concerning the implementation of
restructuring policies intended to devolve decision-making the to
school-site level Specifically these policies concerned the
establishment of participatory decision-making groups and
development planning procedures. As previously mentioned the
intention was not only provide insights into the dynamics of the
change process but also to assess the appropriateness of the open
social systems perspective. Consequently data were sought
regarding the affect of sub-system linkage and the ÒopenÓ nature
of the social system on the implementation process. To achieve
this, a multi-instrument approach was required, including
interviews with school level personnel, observation of meetings
and informal interactions, and the administration of
questionaries.
To assess the extent of sub-system linkage within each school, a
survey instrument was developed. Dimensions and items were
derived from the work done by Wilson & Dickson Corbett (1983),
and Knezevich (1984). A total of 18 items was used, six for
each dimension or sub-system. Respondents were asked to indicate
on a three point Likert scale [high, moderate, or low] their
perceptions about cultural, structural, and pedagogic linkages
that existed within the school.
Description of dimensions.
Cultural Linkage refers to the degree to which organisational
mechanisms create and co-ordinate shared goals and behaviour
patterns among members of staff.
A high score = High Cultural Linkage
Structural Linkage refers to the degree to which organisational
mechanisms control the behaviour of members of staff.
A high score = High Structural Linkage.
Pedagogic Linkage refers to the degree to which organisational
mechanisms co-ordinate and control the classroom teaching of
members of staff.
A high score = High Pedagogic Linkage
Examples of items used for each dimension:
Cultural Linkage
Teachers hold a shared sense of purpose
(goal sharing) at this school. [ H M L
]
Teachers' collaborate on joint activities. [ H
M L ]
Structural linkage
Teachers' roles [duties and responsibilities]
are clearly defined. [ H M L
]
Senior staff supervise teachers closely [ H M L
]
Pedagogic Linkage
Teachers have a great deal of professional
freedom. [ H M L ]
Teachers frequently observe their colleagues
teaching. [ H M L ]
This questionnaire was administered to the members of staff of
three senior secondary schools in Perth Western Australian.
Care was taken to ensure the inclusion of respondents from each
of the seven curriculum teaching areas operating in each school .
By using this sampling procedure, information more reflective of
individual teaching departments as well as the whole staff could
be gained. Responses for each scale were tallied and rated as
high, moderate or low. It is important to note that these
ratings were viewed as supporting data for information gained
through observations and interviews conducted with staff members
concerning linkage.
To assess the "open" nature of each school, attention was given
the factors affecting the implementation decision-making within
site specific planning committees. At each school these
committees were composed of representatives drawn from the school
staff and parents. The brief of each committee was to make
decisions regarding the structure and function of a school
decision-making group and to formulate guide-lines for the
establishment of such a group within the school. It was
anticipated that data collected about the interactions and
deliberations within each group would enable some assessment
about the "open" nature of each school. Specifically this
involved the analysis of communication patterns and the
observation of interactions of participants during these
meetings. This enabled information flows for each school to be
analysed and mapped.
In the case analyses that follow, data concerning sub-system
linkage and information flow at each school have been combine.
This has enabled a more comprehensive account of relationships
between secondary school organisation and the implementation of
site-based management.
Case Analysis
Sub-system Linkage
Data tends to confirm the view that the school organisation is
composed of a number of distinct sub-systems. The extent to
which these sub-systems are interdependent or linked, varies
across school sites. Where sub-system linkage is weak, as in
the case of Jardine Senior High School (SHS), the sub-systems
tend to operate largely independently of each other. At Jardine
SHS responses indicated a lack of whole-school commitment and
divisions between teaching departments and the administration of
the school. Teachers indicated they operated independently from
their school administration. There was limited emphasis on
following policies and regulations in the school, and limited
supervision of teachers by senior staff. Further, teachers felt
free to question administrative decisions and did not feel bound
by any such decisions. This questionnaire data is supported by
both observation field notes, and interview transcripts. As the
following teachers noted:
Jardine is a school that operates almost independently from
any top down direction from the administration. I feel a definite
lack of pressure to live up to certain expectations. There are
those expectations but it is just assumed that you will do it.
(Teacher 1)
...It is a school where almost everything is left to run by
itself, there is very little overall co-ordinated leadership from
the top. (Teacher 2)
A significant factor affecting the characteristics of Jardine
Senior High School is the length of residency of many staff. As
the Deputy Principal points out:
This school has been running for thirty-two years on a
departmental line and everyone is fairly well entrenched. Some
of the senior staff have been at this school directing their
departments for 22-23 years. (Mervin)
It would seem this length of service at the school has created
for many staff, a sense of security, stability, self-reliance
and independence. As a consequence the teachers in this school
viewed the establishment of school decision-making groups and
school development planning as an administrative innovation
belonging to the structural sub-system and of little significance
to cultural and pedagogic sub-systems of the school.
Consequently minimal interest was shown in participating in the
implementation of school based management. Indeed for some
staff at Jardine SHS, concern was expressed that a school-based
decision-making group might reduce the autonomy of the pedagogic
sub-system by exerting influence over curriculum and instruction
issues. Further, there was some concern expressed about school-
based management serving as a mechanism to make teachers more
accountable at the school and Central Office level. Staff with
such concerns either rejected the innovation outright or sought
to participate in the implementation process with the aim to
restrict the intrusiveness of the change.
Data for Maylup SHS indicated a that linkage was tighter than for
Jardine SHS. There was a greater sense of shared purpose among
staff and the teachers indicated a moderate emphasis was placed
on following policies. Similarly there were some mechanisms for
influencing and monitoring the manner in which teachers planned
or operated in the classroom. However, these were not considered
intrusive. In short sub-system linkage at this school was
moderate.
At Langley SHS, strong sub-system linkage was apparent. In this
case there existed a "whole-school" perspective shared by many
teachers and members of the administration. Staff could have
input to important school policy decisions and they held regular
meetings to discuss teaching methods and strategies. Both staff
and administrators viewed the establishment of school based
management would bring desirable changes to the whole-school.
This stance combined with subsequent implementation action by the
staff at Langley SHS, lends support the assertion by Rosenblum &
Louis (1981) and Wilson & Dickson Corbett (1983), that the higher
the sub-system linkage the increased likelihood of meaningful
implementation.
Interestingly the organisational changes associated with school
based management such as participatory decision-making and whole
school planning, appear to have the capacity to enhance sub-
system linkage. However, the existence of weak sub-system
linkages within a school suggests preparedness to undertake
implementation will be reduced.
Information
The importance of information in planning for implementation and
the manner in which such information was communicated to members
of the planning committee, played a critical role in determining
the implementation events at all three schools. Information
concerning the establishment of school-based decision-making
groups and development planning stemmed from a number of sources
and took different forms. Such information ranged from the
"official" Ministry of Education documents, through to statements
issued from organisations such as the Western Australian Council
of State School Organisations, (representing parent
organisations), and the Teachers' Union. In addition, models of
school-based management and development planning procedures also
flowed into schools from other schools and interstate.
An additional type of information stemmed from participants
situational knowledge of the school setting. This information
was often not made explicit within the planning committee. It
was the type of information that was acquired through an
association with the school either as a parent or a member of
staff. In each steering committee there were participants who
had more that five years of direct association with the school
and had acquired a knowledge about both the operations of the
school and the nature of the community it the school served.
Such tacit information served to shape perceptions not only about
what was desirable for the school but also what was possible
within the given environment. In addition, some information
about the characteristics of the school setting was made explicit
through verbal descriptions by participants or through data
derived from surveys conducted by the school.
The flow of information stemming from sources external to the
school has been mapped for each site. The relative importance
of each type of information about the implementation process is
indicated by the thickness of the flow lines. Relative
importance was assessed by analysing the use of particular
information by members of the committee both during their
deliberations and for specific decision points related to
implementation action.
Information flow Langley SHS
FIGURE 2
Information Flow Langley SHS
For the steering committee at Langley SHS the most influential
information was obtained from the Ministry of Education, the
District Office, an imported model of school development planning
developed by Caldwell and Spinks (1988) and the State School
Teachers Union (SSTU). For the co-ordinator of the steering
committee, the Caldwell and Spinks model appeared to match the
type of Ministry documents relating to development planning and
resource management.
As the co-ordinator speculated:
I suspect that what we are going to be told to do by the Ministry
will reflect pretty much some of the stuff that constitutes the
Caldwell and Spinks Model.
In addition to the documents and models obtained from outside the
school, further information concerned with development planning
was also obtained by survey instruments issued to staff.
Information Flow Jardine SHS
FIGURE 3
Information Flow Jardine SHS
For Jardine, official documents relating to the structure and
functions of a school decision-making group, coupled with
information derived from experience, served to direct the
Principals stance on the type of group to be established. From
the first meeting of the planning committee the Principal
presented a "model" detailing the possible structure of school
based management. For parent representatives, information
disseminated from WACSSO appeared the most influential. Such
information, coupled with the enabling legislation, offered
support for the creation of a school decision-making group that
functioned as a standing committee of the existing Parents &
Citizens body (P&C). A decision-making group established in this
way would ensure that the P&C would retain its power base and
limit the impact this new group might otherwise make on the
existing operations of the P&C. Dominating all other sources of
information was that supplied by the State School Teachers Union
(SSTU).
Information Flow Maylup SHS
FIGURE 4
Information Flow Maylup SHS
For Maylup, the information of most influence in the
implementation process stemmed from other schools, rather than
from the Ministry of Education. The committee members opted for
the establishment of a properly constituted school decision-
making group to be known as the Maylup School Board. The
Chairperson of the steering committee was given the
responsibility of drafting such a constitution. Subsequently
the Chairperson obtained a copy of the constitution of an
Independent school's council and used this as a basis for the
Maylup School Board. As with both Langley SHS and Jardine SHS
information stemming from the State School Teachers Union was to
exert most influence of the planning process.
In addition to the type and origin of information the carrier or
communicator of the information appeared to influence the manner
in which the members of the planning committee responded to the
information. All official Ministry of Education information was
disseminated to the school and members of the planning committees
through the Principal. This dissemination procedure permitted
the Principals to screen and selectively communicate ideas to
members of the planning committee. All Principals, but
especially those at Maylup SHS and Langley SHS, used the
"authority" of such Ministry information to direct the planning
process. When staff or parents forwarded ideas about possible
functions of the school decision-making group that were contrary
to those held by the Principal, the Principal would counter and
limit such ideas with a general reference to "stated Ministry of
Education intentions".
The Principals at both Maylup SHS and Jardine SHS relied heavily
on information about school-based management obtained from their
previous schools. Such information in the form of "preferred
models" were promoted and discussed in detail within the planning
committee. Lack of consideration of alternative models or
information related to school-based management did not appear an
issue at Langley SHS or at Maylup SHS, where participants
appeared to readily accept suggestions proposed by the Principal.
However, in light of the Principal dominance of these planning
committees, the existence of effective participatory decision-
making is questionable.
At Jardine SHS, parent members of the planning committee sought
alternative information about the possible structure and
functions of school-based management. This alternative
information, especially that obtained from State Organisation of
Parent and Citizen body (WACSSO) was used by parent members of
the planning committee to support their views about the structure
and function of school-based management and to oppose the
Principal's model. Subsequent meetings became conflicted rather
than collaborative, and lead to hostility and intransigence among
members.
A critical external intervention affecting the implementation
process at all three schools was the industrial action taken by
the Teachers' Union during the latter part of 1989. This action
was to effectively bring to a halt to planning for the
implementation of school based management in all three schools
under study. There appear several factors that prompted the
Union to impose a ban on the implementation process. The first
factor involves union concern over what it saw as inadequate
consultation between the Ministry and the Union about the key
aspects of the restructuring program. While the Union was
represented on early working parties associated with policy
formulation, they took a contrary stance on several core aspects
of the program and were soon excluded from policy development
process. Isolated from a direct collaboration in the planning
for implementation, the Union was forced to adopt a relationship
based more on negotiation that participation.
The second factor, involved the Union's concern about the impact
implementation of school based management was having on the
working conditions of its members and the disruption it was
causing the educational operations of schools. Accordingly the
union issued a directive to all members to cease participation in
the implementation of both school decision-making groups and
development planning.
The impact of such industrial action on the implementation
process in all three schools not only reinforces the concept of
schools as open social systems but demonstrates how susceptible
the implementation process is to external political
interventions.
Concluding Comments and Implications for Action
The data derived from the three case studies confirms that view
of Crossley (1984) and Huberman & Miles (1984) that schools
operate as open social systems. As social systems, schools are
comprised of a complex pattern of relationships. It is the
nature of these relationships that forms the context in which
restructuring and reform takes place. At secondary school level
the organisational character of the school is strongly affected
by the existence of separate subject departments. This
organisational feature tends to foster strong "department
allegiance" among teachers. This pedagogical sub-system thus
becomes more weakly linked with the structural and cultural sub-
systems of the school. In such situations' teachers view their
subject department as the base for formal and informal influence
over decision-making. The introduction of participatory
decision-making through school based management can be perceived
to threaten the autonomy of the pedagogical sub-system.
Strategies designed for the implementation of innovations in
secondary schools should take account of the existing sub-system
linkage. Linkage may be enhanced by targeting the subject
department level and providing opportunities for intra-department
and whole-school collaboration to be developed. Principals,
senior administrators and teachers require skills to move from
individual subject orientated thinking to collective, whole-
school thinking; to move from isolated decision-making patterns
to group decision-making. In short, members of the school
community must begin to see their roles as school-referenced.
The notion of an organisational culture existing in secondary
schools appears under question. Data derived from the sub-system
linkage questionnaire related to the cultural sub-system,
indicate several alternative and competing cultures might exist
with the school. These cultures tended to operate around the
different teaching departments and reflected markedly different
beliefs, values, and relationships. Viewing secondary schools as
multi-cultural social systems might provide greater insight and
understanding about the nature of these complex communities.
Certainly such a perspective seems to warrant further
investigation.
As open social systems, schools are not only exposed to ideas and
information stemming from the general and specific change
environments, but is also affected by political and ideological
turbulence occurring within those environments. While such
information and external interventions clearly impact on the
change events, it appears school characteristics such as sub-
system linkage appears to influence the type and range of
information used and the particular change strategies employed.
While the flow of alternative information has potential to cause
confusion and differences of opinion among steering committee
members, it also holds benefits. Under a participatory decision-
making approach the quality of decision outcomes often depends
upon the consideration of viable alternatives. Information about
such alternatives must be accessible to all members. That is,
information must be available to all and in a form that is useful
to the decision-makers.
Consequently action needs to be taken to ensure that the
information flow between participants in the implementation
process to needs to be multi-directional. A communication
network should be established that facilitates information
sharing from Ministry of Education to school, within schools,
from school to school, school to community and back again.
In conclusion the unique nature of a school's organisational
characteristics appears to not only influence a schools
preparedness and capacity to undertake restructuring and reform
but also type of information used and the change strategies
employed to implement change. To gain an understanding of the
dynamics and complexities of the implementation process, it seems
essential to view change as context dependent. At both Ministry
of Education and school level, close attention needs to be given
to the nature of the school as an organisation as well as the
characteristics of its environment. Through such an approach to
change, appropriate support and strategies might be developed
that better facilitate the type of organisational transformation
that is intended to promote school development and create self
managing schools.
References
Baldridge, J. V., & Burnham, R. A. (1975). Organizational
innovation: Individual, organizational and environmental
impacts. Administrative Science Quarterly, 20, 165-176.
Bidwell, C. E. (1965). The school as a formal organization. In
March, J. (ed.), Handbook of Organization. Chicago: Rand
McNally.
Caldwell, B. J., & Spinks, J. M. (1988). The self-managing
school. East Sussex: The Falmer Press.
Clear, D. K. (1970). Supervisors in an educational organization.
ISR
Cohen, E,. G., Deal, T. E., Meyer, J. W., & Scott, W. R. (1976).
Organization and instruction in elementary schools. Sociology of
Education, 52, 20-33.
Corbett, H., Dawson, J., & Firestone, W. (1984). School context
and school change. New York: Teachers College Press.
Crossley, M. (1984). The role and limitations of small-scale
initiatives in educational innovation. Prospects, 14(4) 533-540
Deal, T. E., & Celotti, L. D. (1980). How much influence do (and
can) educational administrators have on classrooms? Phi Delta
Kappan, 61(7), 471-478.
Dreeben, R. (1973). The school as a workplace. In R. Travers
(Ed.). Second Handbook of Research on Teaching. Chicago: Rand
McNally.
Firestone, W. A. (1985). The study of loose-coupling. In A.
Kerckoff. (Ed.), Research in sociology of education and
socialization. Greenwich, CT: JAI Press.
Firestone, W. A., Wilson, B, (1985). Using bureaucratic and
cultural linkages to improve instruction. The high school
principals contribution. Educational Administration Quarterly,
21, 7-30.
Fullan, M. (1985). Change processes and strategies at the local
level. Elementary School Journal, 85 (3), 391-421.
Hoy, W. K., & Miskel, C. (1987). Educational administration:
Theory, research and practice (3rd. ed) New York: Random House.
Huberman, A. M. (1983). School improvement strategies that work:
Some scenarios. Educational Leadership, 11, 23-27.
Huberman, A. M., & Miles, M. B. (1984). Innovation up Close.
New York: Plenum Press.
Knezevich, S. J. (1973). Management by objectives and results.
Washington, DC.: American Association of School Administrators.
Kuezevich, S. J. (1984). Administration of public school
education (4th ed.). New York: Harper & Row.
Lortie, D. C. (1975). Schoolteacher: A sociological study.
Chicago: University of Chicago Press.
March, J. G., & Olsen, J. P. (1976). Ambiguity and choice in
organizations. Bergen, Norway: Universitets forlaget.
Meyer, J., & Rowan, B. (1983). The structure of educational
organizations. In J. V. Baldridge, & T. Deal (1983). The
Dynamics of Organizational Change in Education. Berkeley,
California: McCutchan Publishing Corp.
Mintzberg, H. (1979). The structuring of organizations.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Rosenblum, S., & Louis, K. S. (1981). Stability and Change. New
York: Plenum.
Schmuck, R., & Miles, M. B. (Eds.) (1971). Organizational
development in schools. Palo Alto, CA: National.
Weber, M. (1947). The theory of social and economic
organizations. In Talcott Parsons (ed.), A. M. Henderson and
Telcott Parsons (trans.) New York: Free Press.
Weick, K. E. (1976). Educational organizations as loosely coupled
systems. Administrative Science Quarterly, 21, 1-19.
Wilson, B. L., & Dickson Corbett, H. (1983). Organization and
change: The effects of school linkages on quantity of
implementation. Educational Administration Quarterly, 19(4), 85-
104.
Label: educational administration, paper
Diposting oleh Izoers Suryana di 11.12 0 komentar